Tepat pukul 12.00, alias satu jam setelah Madam Loly dan Pak Hanung berkeliling asrama memastikan bahwa semua siswa telah tertidur dan berada di kamar mereka masing-masing, Adnan membuka matanya. Menyingkirkan selimut tebalnya yang menutup sebagian badannya. Mengambil senter yang sengaja ia letakkan di bawah bantalnya.
Ini saatnya. Saat yang tepat bagi Adnan untuk mencari tahu tentang Nasya. Setelah menengok sekali lagi ke setiap sudut kamar, memastikan bahwa keempat teman sekamarnya sudah benar-benar terlelap, Adnan menempelkan ID Cardnya. Kakinya melangkah ke luar setelah pintu terbuka dan kemudian tertutup kembali.
Karena jam segini beberapa lampu sudah dimatikan, lorong di depan kamarnya pun jadi begitu gelap. Bahkan bisa disebut cukup gulita. Membuat penglihatan Adnan jadi terbatas. Yang terlihat hanya cahaya lampu dari luar yang masuk menembus melalui celah kaca jendela yang tidak tertutup tirai. Tapi syukurlah Adnan sudah bisa membaca situasi ini, dia pun sudah menyiapkan sebuah senter yang setidaknya bisa membantu menerangi jalannya.
Hanya dengan mengenakan baju tidur yang berbalut hoodie, Adnan melangkah dengan hati-hati melewati lorong panjang yang dijejeri pintu-pintu kamar para siswa asrama lainnya. Dia berjalan persis seperti seorang maling yang tidak ingin diketahui warga. Kepalanya sesekali menengok ke belakang, ke kanan, juga ke kiri, untuk berjaga-jaga. Kedua telinganya dia pasang tajam-tajam agar dapat mendengar setiap suara yang mendekat ke arahnya.
Karena tidak ingin aksinya ini diketahui oleh siapapun, Adnan pun memilih untuk menggunakan tangga darurat dibanding lift. Karena jika dia menggunakan lift, bukan cuma suara dentingnya saja yang bisa memancing para petugas jaga yang sedang berkeliling, tetapi CCTV di dalamnya juga bisa membuat kelangsungan hidupnya di Lawden Hall terancam!
🍐
"Than," Yudan berdesis menggerak-gerakkan lengan Ethan. Membangunkan Ethan yang sedang tertidur pulas.
"Hm." Ethan hanya berdeham. Lalu mengubah posisi tidurnya, berbalik membelakangi Yudan yang jongkok di samping ranjangnya.
"Ethan," tanpa lelah Yudan terus berusaha. Meskipun di sisi lain dia sudah tidak tahan lagi menahan kantung kemihnya yang hampir luber itu. "Ethan bangun, temenin gue ke toilet. Gue kebelet banget, nih."
"Gue ngantuk, ah! Sama yang lain aja," Bahu Ethan bergerak menyingkirkan tangan Yudan yang menggelayut di lengannya.
"Gue takut kalau bangunin Daniel. Ntar kena damprat."
"Sama Lukas sana!"
"Lo tau sendiri, kan, Lukas lebih penakut dari gue. Ayo dong, Than, gue udah gak tahan, nih!" rengek Yudan sambil terus mengganggu tidur Ethan.
"Bodo amat!"
Dengan kesal Ethan menutup seluruh tubuhnya sampai ke kepala dengan selimut tebalnya. Berharap itu bisa menyelamatkan telinganya dari suara Yudan. Ethan benci sekali dengan kebiasaan Yudan yang satu ini. Membangunkannya tengah malam, hanya untuk meminta menemaninya ke toilet ketika toilet di kamar mandi mereka kering tidak keluar air. Bahkan hal seperti ini sudah sering terjadi jauh sebelum Adnan tinggal di kamar mereka.
"Than," bisik Yudan lagi. "atau lo mau gue kencingin tempat tidur lo?" kini rengekan itu berubah jadi ancaman.
Membuat mata Ethan seketika membulat sempurna. Badannya berbalik pada Yudan dengan cepat, lalu menendang Yudan sampai terjungkal ke dekat kolong tempat tidur Lukas. "Gue hajar lo kalau sampe kencingin tempat tidur gue!"
"Ya, makanya, anterin!"
"Ck, nyusahin amat gue punya temen!" Dengan sangat tidak ikhlas, Ethan akhirnya bangun. Meski pun mulutnya terus saja mengumpat dengan mata setengah terbuka. "Cepat mati, kek, lo Dan, biar gak nyusahin gue lagi."
"Gue udah gak kuat!" Baru sebelah Ethan memakai sandalnya, Yudan main langsung tarik saja pergelangan tangan Ethan tanpa manusiawi. Karena dia sudah tidak tahan lagi menahan kantung kemihnya yang akan bocor hanya dalam hitungan detik. Tidak memedulikan sumpah serapah Ethan barusan.
Badan Ethan yang masih lemas, nyawanya yang belum terkumpul karena baru bangun tidur, membuatnya tidak bisa lagi melakukan perlawanan dari tarikan tangan Yudan yang cukup bertenaga. Bagai tubuh tanpa jiwa, dengan pasrahnya Ethan membiarkan dirinya mengikuti ke mana pun Yudan menarik tangannya dengan sebelah sandalnya.
🍐
Entah kenapa, Adnan benar-benar merasa heran, sejak dia tahu bahwa kamar Nasya berada di lantai dua belas. Karena menurut Adnan, tidak semestinya kamar anak pemilik asrama berada di lantai paling atas. Jauh dari jangkauan siapapun. Seperti kemarin, ketika dia mendapati Nasya berteriak sambil menjatuhkan barang-barangnya di dalam kamarnya, Adnan yakin kalau saat itu dirinya tidak kebetulan sedang berada di lantai yang sama, dia tidak akan bisa mendengar teriakan Nasya.
Adnan bingung kenapa asrama ini beserta seluruh penghuninya sangat aneh. Bersamaan dengan helaan napasnya, Adnan menggelengkan kepala. Kakinya terus menanjak anak tangga demi anak tangga yang berada di depannya. Sepanjang itu, dari lantai tujuh menuju lantai dua belas, Adnan terlalu sibuk dengan pikirannya, sampai tidak terasa tangga yang dipijakinya sekarang adalah tangga terakhir di lantai dua belas. Perlahan Adnan membuka pintu tangga darurat di lantai dua belas.
Setelah menengok kanan-kiri dan memastikan semuanya dalam kondisi aman, barulah ia mengambil langkah keluar. Namun belum sempat itu terjadi, kaki Adnan kembali mundur ke balik pintu ketika denting lift terdengar jelas oleh telinganya. Adnan mengintip melalui celah pintu besi itu. Dia mendapati Pak Thomas keluar dari dalamnya. Lalu berjalan dengan gagah sembari membenarkan posisi jasnya.
🍐
"Udah?" tanya Ethan saat melihat Yudan keluar dari balik bilik toilet.
"Udah," sungut Yudan yang terlihat begitu lega, seraya membetulkan posisi celana tidurnya. "Kuylah!" ajaknya kemudian, dengan berjalan duluan meninggalkan Ethan yang sedari tadi menunggunya di luar bilik toilet.
"Si tai, gak tau duduk amat, heran!" Ethan berdecak ketika melihat Yudan malah melenggang begitu saja, lalu ia berjalan cepat menyusul. "Gue gak mau tau, pokoknya besok pagi, lo harus buru-buru lapor ke teknik mesin asrama kalau kamar mandi kita kering air."
"Iya, iya, elah! Bawel bener lo kayak ibu-ibu arisan,"
🍐
Dari jarak yang cukup jauh, diam-diam Adnan mengikuti pria yang setengah rambutnya sudah memutih itu. Akan tetapi, entah ini perasaan Adnan saja atau bukan, Pemilik Asrama itu seperti mempercepat langkahnya. Ketukan pantopelnya pun juga terdengar lebih cepat. Membuat langkah Adnan otomatis ikut lebih cepat juga. Pandangan Adnan yang hanya terfokus pada punggung tegap Pak Thomas membuatnya lupa kalau dirinya sedang mengikuti secara diam-diam. Bukan secara terang-terangan. Adnan sama sekali tidak sadar kalau dirinya sedang berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkah Pak Thomas.
Sehingga membuat Pak Thomas mulai menyadari kalau ada seseorang yang mengikutinya. Dengan tiba-tiba pemilik asrama itu menghentikan langkahnya. Membuat Adnan pun ikut berhenti mendadak. Adnan meneguk salivanya yang terasa seperti kerikil itu, menyakitkan tenggorokannya. Tubuh Adnan benar-benar terpaku detik itu juga. Seluruh syarafnya menegang. Keringat mengalir deras di keningnya. Matanya bisa melihat jelas kalau Pak Thomas sedang berdiri menghadapnya. Jantung Adnan berdegup sangat cepat. Keduanya berdiri kaku saling menatap dalam gelap yang hanya ditandai oleh bayangan hitam mereka masing-masing.
Adnan diam mematung. Dia tidak tahu mesti berbuat apa. Haruskah dia menyerahkan diri sebelum dirinya benar-benar tertangkap basah?
===
To be continue...
A/n: maaf cuma 1000 kata:( tapi yg penting update cepet. ya kan?
YOU ARE READING
Emerald Eyes 1&2
Teen FictionAku sempat merasakan semuanya. Desir perih mencintai seseorang hanya dalam satu waktu. Waktu saat kita dipertemukan, tanpa disatukan. -Adnan Geo Pratama Berawal dari rasa penasarannya, Adnan harus terjebak di tengah-tengah dua misteri. Misteri terka...