6. Pisau Berdarah

22.6K 2.3K 471
                                    

"Gue merasa ini semacam teror."

• • •

"Bagus, gue saranin lo jangan sampai suka sama dia," saran Daniel sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.

Adnan mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Yang pertama, itu cewek gak gampang buat digebet. Selain dingin, dia juga misterius. Kalau jalan aja, matanya selalu lurus ke depan, gak pernah tengok kanan-kiri."

Sebetulnya Adnan bertanya pada Daniel, namun lagi-lagi pertanyaan tentang Nasya hanya mampu terjawab oleh Yudan. Membuat Adnan langsung menolehkan kepalanya pada Yudan.

"Yang kedua, bokapnya gak pernah suka kalau ada yang deket-deket sama Nasya. Jadi, sebelum lo suka sama Nasya, lo mesti hadapin dulu, tuh, Pak Thomas Lawden pemilik Lawden Hall! Dan yang terakhir, lo tau kan ini asrama cowok? Udah gitu, di sini cuma ada satu cewek. Jadi, kalau lo suka sama Nasya, saingan lo bakalan banyak dan berat-berat."

"Sebanyak apa, sih, yang suka sama dia?" tanya Adnan lagi. Mendengar jawaban panjang dari Yudan yang seolah tahu betul tentang Nasya, justru malah membuat Adnan merasa tertantang juga ingin tahu lebih dan lebih lagi tentang Nasya.

Tiba-tiba Lukas melepas sendoknya. Merangkul bahu Adnan dengan kasar. "Tuh, lo liat cowok yang dandanannya rapi itu?" Lukas mengarahkan bahu Adnan untuk melihat apa yang dia lihat.

Adnan mengangguk. "Iya,"

"Itu namanya Raka Aditama. Dia senior, kelas sebelas. Paling teladan, paling pinter, paling disayang guru-guru, pokoknya paling-paling, deh. Dia aja suka sama Nasya dari kelas sepuluh, katanya. Tapi gak pernah sekalipun berhasil dapetin perhatian Nasya. Apalagi lo?" Sejenak Lukas menyorot Adnan dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Muka lo gak ganteng-ganteng amat. Otak lo juga pasti standar. Kelakuan, paling juga gak beda jauh sama kita-kita. Soalnya kalau lo anak baik-baik, gak mungkin, tuh, sekamar sama kita."

Mendengar penilaian Lukas tentangnya, seketika gigi Adnan bergemeletuk. Matanya menyorot tajam dua mata bulat milik Lukas. "Udah pernah ngerasain tampolan gue belom?" tanya Adnan sarkastik.

"Gue cuma bicara jujur, man! What's wrong with that?" tanggap Lukas, santai―dengan gaya bicaranya yang campur-campur Inggris―seraya melepaskan rangkulannya, kemudian melanjutkan makannya yang sempat tertunda karena Adnan.

"Sebenernya menurut gue bukan itu yang jadi masalah." Ethan yang sedari tadi berusaha untuk tidak mencampuri obrolan teman-temannya, akhirnya ikut terpancing juga. Si normal yang satu itu tiba-tiba menceletuk sambil terus menikmati makanannya.

"Terus apa masalahnya?" Adnan kian penasaran.

"Ntar juga lo tau sendiri," sahut Ethan cuek.

🍐

Pagi itu, saat Adnan, Lukas, Daniel, Ethan, dan Yudan sedang berjalan dengan santainya menuju ruang kelas, seketika langkah mereka terhenti saat melihat teman-teman sekelasnya berhamburan keluar. Hampir semua dari mereka menutup hidung. Bahkan ada pula yang sekuat tenaga menahan muntah. Padahal kalau menurut jarum jam, seharusnya jam segini kegiatan belajar sudah berlangsung sejak setengah jam yang lalu, karena sebenarnya mereka itu datang terlambat.

"Ada apa? Kenapa pada di luar?" Ethan bertanya pada Bagas, ketua kelas X – Delapan, yang sedang berupaya menenangkan anak-anak yang lain.

"Itu, di dalem ada darah. Bau amis banget."

"Darah?" Adnan bertanya dengan kerenyitan pada dahinya.

"Iya, darah. Ada pisaunya juga."

Jawaban Bagas seketika membuat kelima-limanya saling melempar tatap, menunjukkan raut wajah yang penuh tanya. Karena tentunya hal seperti ini tidaklah wajar.

Emerald Eyes 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang