16. Perkara penting

17.3K 1.7K 89
                                    

Tidak tahu apa alasannya, Adnan selalu merasa jika segala sesuatu yang sudah menyangkut tentang Nasya, artinya persoalan itu lebih penting dari apapun.

• • •

"Sial! Madam Loly emang paham bener kelemahan otak kita." Daniel membuang bolpoinnya ke sembarang arah dengan penuh kekesalan.

Padahal ini baru masuk hari kedua setelah kemarin mereka diperintahkan untuk mengerjakan deretan soal berupa angka dan bilangan oleh Madam Loly sebagai hukuman. Tapi entah kenapa rasanya seperti sudah berabad-abad mereka menjamur di dalam kelas tiap pulang sekolah sampai pukul sembilan malam hanya untuk mengerjakan soal-soal tersebut.

Yudan yang sudah menguap berkali-kali mengucek matanya yang terasa sangat lelah akibat berlama-lama berhadapan sebuah buku terbuka yang berisikan kumpulan angka itu. "Kalau tau kayak begini mending gue suruh bersih-bersih, serius!" serunya di sela-sela menguapnya.

"Kalau soal english, mau beribu-ribu soal juga gue jabanin. Lah, ini metematika. Belum apa-apa aja gue udah puyeng!" Lukas memang paling lemah dalam bidang hitung-menghitung. Tidak heran kalau sekarang dia baru menulis soal-soal saja pada bukunya. Dan itu pun baru sampai nomor lima. Sedangkan jumlah soal yang harus dia kerjakan secara keseluruhan sekitar tiga ratus lebih.

Sekilas Ethan melirik buku tulis Lukas. "Najis dah lo, daritadi baru nomor lima. Kagak dijawab lagi!"

"Santai aja lah, jangan terlalu niat-niat amat ngejalanin hukuman," sahut Lukas santai.

Pletak

Ethan menggatak kepala Lukas dengan ujung bolpoinnya. "Gak usah sok santai lo! Ntar dapet hukuman tambahan kayak Adnan waktu itu baru tau rasa."

"Parah emang si Kulkas, baru nomor lima. Gue dong udah nomor lima puluh!" Tahu-tahu Adnan berseru menyombongkan diri.

"Beneran?!" Ethan tersentak kaget mendengarnya.

Dengan gerakan cepat Daniel langsung merampas buku Adnan. "Halah, tai kucing! Lo juga cuma soalnya doang!" Daniel melemparkan kembali buku tak berguna itu pada pemiliknya.

Dengan tangkas Adnan menangkap bukunya yang baru saja dilempar oleh Daniel sambil terkekeh geli. "Soal dulu, jawabannya mah gampang. Ntar tinggal nyontek sama Setan. Iya gak, Tan?" Tatapan Adnan mendadak tertuju pada Ethan.

"Nah, cakep!" tandas Lukas tiba-tiba, mendukung ucapan Adnan.

"Bener, tuh!" Yudan ikut berambisi.

"Kali ini gue setuju sama lo, Nan!" susul suara Daniel kemudian.

Sedangkan Ethan, satu-satunya orang yang paling dirugikan di sini, rasanya ingin sekali menghabisi empat orang yang mendadak jadi kompak itu, satu-persatu. "Gue gak denger, lagi pake headset!" sahutnya cuek. Lalu kembali melanjutkan berhitungnya yang sempat tertunda.

"Pelit lo, elah!" oceh Lukas.

"Gak apa-apa, ntar kalau dia lagi tidur, kita ambil aja bukunya," ucap Yudan pada Lukas, Adnan, dan Daniel.

Ethan tetap fokus memecahkan soal yang sedang dia kerjakan. Berusaha semampu mungkin mengabaikan apa pun yang terngiang di telinganya agar dirinya tidak terpancing emosi. Berlaga seakan telinganya benar-benar tersumpal oleh headset. Berpura-pura tidak mendengar sahutan-sahutan yang keluar dari mulut orang-orang itu. Meskipun otaknya terus berpikur berpikir, punya dosa apa dirinya sampai-sampai Tuhan tega menyatukannya dengan empat anak tidak tahu di untung seperti mereka.

🍐

"Kira-kira siapa, ya, orang yang berani-beraninya menaruh bangkai di asrama ini? Ini bukan yang pertama kalinya, lho. Sebelum bangkai, Bu Hanny juga pernah melapor ada pisau berdarah di ruang kelasnya." Sambil berpatroli keliling asrama, Pak Hanung dan Madam Loly membahas soal teror yang akhir-akhir ini menimpa Lawden Hall.

Emerald Eyes 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang