"Udah, dong, natap guenya. Ntar kalau gue semakin suka dan jatuh cinta sama lo gimana?"
• • •
"Papa?" Tiba-tiba setetes air mata jatuh dengan cepat dari ujung mata Nasya bersamaan dengan senyumnya.
"Papa?" ucap orang itu dengan kernyitan, heran.
Namun senyum Nasya pudar selepas ia mengedipkan matanya sekali lagi. Ada rasa kecewa yang terselundup dalam benaknya. Entah bagaimana bisa apa yang Nasya lihat tadi mendadak berubah. Sosok yang di depan matanya itu tahu-tahu saja berganti dalam sekejap mata. Seseorang yang memberikan es krim vanilla itu buka papanya. Melainkan Adnan. Buru-buru gadis itu mengelap air matanya, ketika dia menyadari kalau semua tidak lebih dari sekedar halusinasinya semata.
"Ini buat lo," Adnan menyodorkan es krim mangkuk itu sedikit lebih maju, sampai Nasya mengambilnya. "Lo nangis," ucap Adnan kemudian. Ia tidak tahu ucapannya ini tergolong pertanyaan atau pernyataan. Dua kata itu keluar dengan sendirinya tanpa kemauan Adnan.
"Kamu tau dari mana aku suka rasa vanilla?" Bukannya memberi tanggapan, tiba-tiba Nasya malah melempar pertanyaan yang melenceng jauh dari bahasan Adnan sebelumnya, untuk mengalihkan pembicaraan.
"Eh?" Adnan yang tidak menyadari kalau Nasya sedang mencoba mengalihkan pembicaraan, seketika dibuat bingung oleh pertanyaan Nasya barusan. Karena yang sebenarnya terjadi itu, dia sama sekali tidak ada niatan untuk membelikan Nasya es krim rasa vanilla. Justru tadinya dia ingin membelikan rasa strawberi. Karena biasanya, perempuan sukanya strawberi atau cokelat. Tapi berhubung abang penjualnya bilang cuma rasa vanilla yang tersisa, mau tidak mau Adnan beli rasa itu.
"Makasih, ya," Nasya tersenyum. Kemudian ia kembali sibuk melahap es krim rasa kesukaannya itu, tanpa peduli apapun jawaban Adnan yang masih menggantung.
Nasya suka sekali es krim vanilla yang dijual di taman ini. Rasanya masih sama seperti dulu, walau pun sudah sekian tahun dia tidak mencicipinya lagi, lidah Nasya masih ingat jelas bagaimana rasanya dulu. Ketika papanya yang membelikannya. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Bahkan tampilan mangkuknya masih sama seperti yang dulu. Ternyata penjual es krim di taman ini sangat memegang teguh kualitas rasa dan kemasannya sampai sekarang. Semuanya benar-benar membuat Nasya kembali rindu akan sosok papanya yang dulu.
Papa, rasa es krim-nya masih sama!
Melihat Nasya yang begitu semangat menyuap sesendok demi sesendok es krimnya ke dalam mulut mungilnya sembari memerhatikan orang-orang di sekitar taman, membuat Adnan berhenti menyuap es krim-nya sendiri. Ternyata memerhtikan gadis itu jauh lebih menyenangkan bagi Adnan ketimbang menghabiskan es krim mangkuknya. Hingga tanpa sadar, kedua sudut bibir Adnan terangkat sempurna dengan tatapan yang terus mengarah pada gadis cantik yang duduk di sebelahnya.
Tiba-tiba senyum Adnan berubah menjadi tawa kecil. Saat dia melihat bibir Nasya sedikit belepotan. Tanpa banyak bicara, Adnan membersihkan bibir Nasya dari noda putih itu dengan ujung ibu jarinya. Membuat Nasya yang tadinya hendak menyuapkan sesendok kecil es krim-nya lagi, seketika terdiam beberapa saat. Gadis itu menoleh ke arah Adnan yang entah sejak kapan sudah melihat ke arahnya sembari tersenyum.
"Lo suka banget, ya, es krim rasa vanilla?" tanya Adnan seraya menurunkan tangannya dari bibir Nasya.
"Hm," sahut Nasya sambil mengangguk dengan senyuman tipis.
Bukan hanya suka, sebetulnya es krim vanilla ini sangat mengingatkan Nasya pada sosok papanya, juga pada masa kecilnya yang begitu indah. Waktu kecil, Nasya ingat sekali papanya sering membelikannya es krim rasa vanilla di taman ini. Tiap kali Nasya nangis, ngambek, marah-marah, esok paginya atau saat itu juga papanya pasti langsung mengajaknya beli es krim di taman ini agar dirinya kembali tersenyum.
YOU ARE READING
Emerald Eyes 1&2
Teen FictionAku sempat merasakan semuanya. Desir perih mencintai seseorang hanya dalam satu waktu. Waktu saat kita dipertemukan, tanpa disatukan. -Adnan Geo Pratama Berawal dari rasa penasarannya, Adnan harus terjebak di tengah-tengah dua misteri. Misteri terka...