10

395 14 0
                                    

LOVA BATU

Sesekali lo harus mengenyampingkan kata hati. Terkadang, justru hati yang akan menjebakmu.

~DeaLova~

***

Dea bergerak gelisah dalam posisi duduknya. Sudah hampir lima belas menit Anna ditangani dokter, selama itu pula Dea tidak bisa bersikap tenang. Ternyata luka Anna cukup parah apalagi di bagian lututnya. Lova pun tak kalah panik dari yang lain, sedari tadi ia mondar-mandir membuat Gara dan yang lainnya jengah melihatnya.

"Gak apa-apa?" Dea menoleh, lalu tersenyum getir sebagai balasan.

"Lo gak usah khawatir, Anna pasti baik-baik aja." Gara mencoba menguatkan. Ia tahu bagaimana ketakutan Dea sekarang.

"Semoga."

Kini Dea beralih memantap Lova, tanpa ia duga Lova pun kini tengah memperhatikannya. Tatapan tajamnya masih saja tertuju pada Dea. Dea menatap sayu, Lova benar-benar kehilangan akalnya hanya karena Anna alasannya. Lova selalu berubah hanya untuk Anna, kepanikan Lova bisa terlihat tidak seperti kepada seorang sahabat. Dea dengan jelas tahu.

"Lo terluka?" Dea sedikit berjengit begitu Gara memegang lukanya. Dengan cepat ia menyembunyikannya ke belakang tubuh.

"B-bukan ko."

"Itu luka Dea! Sini gue lihat sebentar." Secara kasar Gara menarik tangan Dea. Melihatnya pun Gara merasakan ngilu.

"Ini luka bakar. Kenapa bisa gini? Lo udah obatin?" Dea diam tidak menyahut. Wajah gelisah dari Gara seketika membuatnya gelagapan.

"U-udah ko. Gue gak apa-apa, luka segini gak berarti bagi gue." Dea terkekeh di akhir. Sedangkan bagi Gara ini bukan luka kecil, Gara pernah menadapatkan luka yang sama seperti Dea dulu, dan luka yang Dea dapatkan itu melebihi darinya. Gara yakin luka itu begitu menyiksa.

"Ikut gue. Lo harus obati luka lo dulu."

"Eh-eh. Gak usah!"

"Jangan keras kepala Dea. Luka lo bukan main-main. Gue yakin lo nyembunyiin ini dari Bunda lo, kan?"

Memang benar, Dea menyembunyikannya dari Bundanya. Karena ia tahu, Bundanya pasti akan murka begitu melihat ada sedikit luka di tubuh Dea. Karena Bundanya selalu mengharapkan tubuh Dea mulus seperti putri impiannya yang feminim. Namun Dea terlahir sebagai gadis yang tomboy, dari sana terkadang membuat Dea minder sendiri.

Lova memperhatikan interaksi antara Dea dan Gara. Ia mencebikkan bibirnya sebal. Namun tak ayal, ia pun sedikit penasaran dari luka yang Gara bicarakan. Lova meneliti tangan kanan Dea, ia lagi-lagi termenung begitu melihatnya. Lantas kini ia beralih menatap Dea yang tengah mencoba menolak tawaran Gara.

Begitu ia hendak membuka mulutnya, ia urungkan ketika Gara berhasil membawa Dea menjauh dari sana. Menariknya dengan cepat, tidak membiarkan Dea melangkah tenang. Lova tidak suka, ia tidak suka atas tindakan Gara yang berlebihan seperti itu kepada Dea. Karena bagi Lova luka itu tidak seberapa dengan luka yang Anna terima. Namun tiba-tiba Lova teringat akan sesuatu.

Luka bakar? Luka itu...

"Bagaimana, Dok?" Mendengar suara nyaring dari Cika, Lova langsung menujukan tatapannya ke arah Dokter yang sudah keluar. Ia menghampirinya dengan tergesa.

"Tidak terlalu parah. Luka di lutut dan di sikunya sudah kami tangani. Mungkin sore ini teman kalian bisa dibawa pulang."

Lova menghela napas lega. Tubuhnya ia lemaskan, akhirnya ketakutan yang sempat melanda pikirannya bisa dienyahkan segera mungkin.

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang