27

253 12 0
                                    




Malamnya, seperti yang Dea dan Abi rencanakan untuk mengadakan pesta barbeque kecil-kecilan di salah satu villa kecil yang dimiliki keluarga Dea, bertempat di perbatasan kota sehingga hiruk pikuk kota tak begitu kental, masih ada udara segar yang bisa dinikmati. Namun sayangnya, Bunda Dian tidak bisa hadir dengan alasan kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan katanya. Hanya dengan keberadaan Dea, Abi, Deon, Ayah, dan Ibu sambungnya setidaknya masih bisa meramaikan acara kecil-kecilan itu.

"Deon, Menteganya habis." Teriak Dea begitu memekik.

"Dea panggil abang!" peringatan Ibu sambungnya. Dea berdecis pelan takut akan terdengar. Jika mengenai perasaannya apakah ia bisa menerima kehadiran Ibu sambungnnya ini, maka Dea akan menjawab tidak. Meski sekarang ia bisa mengakui kehadiran Abi sebagai kakak tirinya, tapi sampai saat ini Dea masih tidak bisa menganggap kehadiran Ibu dari Abi sebagai Ibu sambungnya, karena sampai kapanpun Bundanya tetaplah Bunda Rima meskipun suatu saat nanti hanya tinggal nama saja. Dea tidak munafik jika melihat Ibu sambungnya perasaan benci itu akan muncul seketika dan sekuat hati Dea harus menyembunyikan apa yang Dea rasakan kepada setiap orang terutama Abi.

"Biar Ayah yang beli, sekalian mau beli minuman kayaknya kita kekurangan minuman deh." Sahut Ayahnya.

"Biar Deon aja, Yah."

"Nah, gitu dong dari tadi. Orang lain kerja lo malah main hp terus." Ketus Dea dengan tangan sibuknya membolak-balikkan daging.

"Telinga gue burem." Ucap Deon acuh.

Dea berdecis, matanya mendelik tidak suka. "Gak usah berantem dek," Abi yang baru datang memperingati Dea.

Hingga beberapa menit berlalu dari perginya Deon, semua orang mengharapkan kehadiran Deon yang tak kunjung ada, masing-masing menghela nafas bergantian mulai bosan menunggu Deon. Daging mentah masih banyak yang belum terbakar karena menunggu mentega yang dibeli Deon.

"Ini orang kesasar atau gimana, sih?" ketus Dea kesal.

"Ayah telpon juga gak diangkat."

"Ibu takut ada apa-apa"

"gak usah ngedoain yang enggak-enggak!" timpal Dea tanpa melihat pada Ibunya.

"Dea..."

"Biar Abi susul aja."dengan cepat Abi bertindak, ia tahu bahwa Ayahnya itu akan menasihati Dea karena ucapannya pada Ibunya, daripada situasi berubah tegang Abi harus segera bertindak agar itu semua tidak terjadi. Abi tidak mau acara yang berharap akan mempererat hubungan mereka malah semakin runyam. Abi tersenyum pada Ibunya bermaksud untuk bisa mengerti sikap Dea yang masih remaja itu. Ibunya mengangguk dan mendapat helaan lega dari Abi. Abi tidak bisa memaksa Dea untuk segera menerima kehadiran Ibunya karena waktulah yang akan membuat Dea berlaku sedemikian. Dengan Dea yang sudah mengakui kehadirannya sebagai kakaknya Abi sudah bersyukur.

Baru saja Abi berjalan beberapa langkah, suara yang saling bersahutan itu terdengar membuat semua orang menatap ke arah suara.

"Ayah kira kamu tersesat."

"Ayah lebay, jalanan di sini gak kaya di kota Bandung, Yah!" seru Deon seraya melempar sekantong plastik pada Dea. Dea mendengus kesal.

"Eh, ada Lova." Lova tersenyum.

"Iya, Yah. Tadi diajak sama Deon. Gak apa-apa kan?" suara Lova begitu lembut.

"Gak apa-dong, makin rame." Ibunya bersuara dengan girang.

"Yaudah Lova bantuin Dea, ya." Ucap sang Ayah.

"Siap Yah."

Sedangkan Dea mencoba menahan diri atas kehadiran Lova yang kini sudah berada di dekatnya. Matanya sesekali bertindak nakal untuk menatap ke arah Lova, sedangkan Lova sendiri malah terfokus pada daging-dagingnya yang semakin lama berubah warna menjadi kecoklatan seolah tidak mengindahkan kehadiran Dea. Dea bungkam, matanya beberapa kali mengerjap, dan sungguh ia tidak suka atas pengabaikan yang Lova lakukan. Begitu menyesakkan.

Dea tersenyum masam menghadapi hubungannya yang seperti ini. Kecemburuannya pada Lova membuat semua ini terjadi. Dan Dea tidak akan melupakan kejadian tadi sore ketika menangkap kebersamaan Lova dan Anna. Sungguh kebersamaan yang ingin sekali Dea ulang bersama Lova, tetapi Dea tidak tahu kapan waktu bisa membuatnya seperti itu kembali.


***

Malam semakin larut, suara  malam saling bersahutan. Udara dingin semakin menelusuk kulit melalui pori-pori sehingga menimbulka efek menggigil. Di atas balkon dengan posisinya yang memandang hamparan rumput hijau nan luas, Dea mengeratkan pelukan pada dirinya, dengan memakai jaket biru yang seingat Dea adalah pemberian dari kakaknya- Deon.

Pandangan Dea menerawang, otak Dea berputar mengingat kejadian setiap kejadian yang dilaluinya. Dengan usianya yang akan genap 17 tahun Dea merasa  bahwa dirinya jauh dari kata dewasa, merasa labil dan masih kekanak-kanakan. Dea sadari akan hal itu. Ingin menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru.

"Huuuuuuhf..." helaan panjangnya terdengar, seolah mengeluarkan setiap beban yang ada.

Tidak ada siapapun yang ingin hidupnya selalu dilanda masalah, walaupun manusia tidak bisa menghinari hal itu, mau tidak mau, siap tidak siap ujian dalam hidup harus dilewati dengan bijak atau dengan sikap yang akan memperburuk keadaan.

Pendengaran Dea menangkap suara dari arah belakang, tepat begitu ia berbalik badan saat itu pula pandangannya menangkap sesuatu hal yang membuat Dea keheranan sendiri. Dea mendekat, di atas meja sudah ada segelas coklat hangat beserta selembar note di sampingnya.

Menurut BMKG minggu-minggu ini udara akan semakin dingin di saat malam hari. Semoga coklat hangat ini bisa menghangatkan tubuhmu. Jaga kesehatan Dea, apapun yang terjadi kesehatanmu adalah yang terpenting bagiku.

Saat itu pula senyuman Dea merekah, melupakan setiap rasa sakit yang ia terima. Ia sangat tahu siapa pemilik dari tulisan ini, sangat mudah dikenali meskipun hanya selewat ia lihat.

Dea menangkup mug yang terasa hangat di permukaan telapak tangannya, menyalurkan rasa hangat dari mug tersebut. Cukup bisa membuat perubahaan pada suhu tubuhnya.

"Terima kasih Lova," gumam Dea pelan dan tersenyum manis.








To be continue

DeaLovaWhere stories live. Discover now