45

285 13 1
                                    

Dea masih membeku, kepalanya seolah dipaku di kedua sisi. Tatapannya tidak berani menoleh ke samping melainkan terus saja menatap lurus pada jalanan dan beberapa deretan rumah di depannya.

Sedangkan Lova. Laki-laki itu masih sama, setengah jam lamanya masih membisu dengan nafas yang memburu, tangan mencengkeram kemudi, dan kepala menunduk. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana tidak berpikiran negatif begitu dirinya mendapati Dea di dalam sebuah apartemen milik Miki bahkan hanya ada mereka berdua saja.

Saat itu, Lova ingin mengunjungi Dea untuk mengajaknya ke suatu tempat, begitu mobilnya hampir sampai ia malah melihat Dea melewatinya dengan mengendari mobil. Keheranannya semakin bertambah begitu Dea terlihat terburu-buru, sangat tidak sabaran disepanjang perjalanan. Dan begitu mendapati Dea memasuki salah satu ruangan apartemen. Lova berdiam diri cukup lama dari kejauhan, ia tidak percaya begitu melihat seseorang yang sangat ia kenali keluar dari dalam sana dan Dea langsung masuk begitu saja.

Saat itu pula wajah Lova memerah, matanya menajam seiring kepalan tangannya mengepal kuat. Ingin mencoba berfikir positif mana bisa disaat kejadian itu dilihat secara langsung.

"Ini gak seperti yang lo pikirkan."

Lova menoleh dengan cepat. Menatap Dea yang mendunduk seolah merasa bersalah.

"Lo bahkan ke apartemen dia sendirian. Lo pikir ini gak seperti yang gue pikirkan?"

"Lo salah?"

"Dan lo membenarkan perbuatan lo sendiri?"

"Gue bahkan gak tahu sebenernya seberapa kaya Miki bahkan bisa menempati tempat itu?" Lanjut Lova tidak habis pikir. Miki yang terlihat sederhana, Miki yang terlihat urakan bisa menempati tempat mewah yang bahkan tidak bisa keluarga Lova miliki. Miki yang dia tahu adalah ia yang berasal dari Desa. Tapi kejadian tadi cukup mengejutkan baginya. Bahkan lebih mengejutkan ketika ada Dea di sana.

"Ini yang gak kalian tahu."

"Dan lo masih mau diem aja?!"
Teriak Lova.

"Gue gak berhak buat bicara. Ketika sampai sekarang Miki gak cerita sama kalian apa hak gue? Gue masih tau batasan sebagai teman."

Lova tersenyum miring. "Teman? Teman macam apa berduaan di apartemen?"

"Dengerin gue dulu. Apa yang lo pikirkan itu salah."

"Apa yang salah? Lo ke sana sendirian bahkan selama ini lo tahu rahasia Miki. Apa yang salah dalam pikiran gue sekarang?"

"Bahkan gue berpikir lo emang udah main di belakang gue selama ini."

"Mengkhianati gue, dan Cika." Lanjut Lova membuat Dea menatap Lova kecewa. Bagaimana bisa dia berkhianat ketika dirinya tahu sendiri rasa sakit  dikhianati itu seperti apa.

"Lo bahkan nuduh gue yang enggak-enggak padahal lo tahu sendiri mana bisa gue khianatin lo."

"Perasaan manusia bisa aja berubah."

"Dan itu berlaku untuk lo. Bukan untuk gue." Teriak Dea dengan napas memburu. Dengan berani menatap Lova. Ia tidak terima jika tuduhan demi tuduhan dilontarkan oleh Lova. Dan itu sangat menyakitinya. Meski tidak benar tapi rasanya sangat sakit.

"Keadaan kita hampir sama tapi kita berbeda. Lo sebagai tempat dimana Anna butuhin lo begitupun gue sebagai tempat dimana Miki butuh seseorang."

"Gue bahkan udah maksa dia untuk terbuka sama kalian, tapi ternyata itu sulit bagi dia. Masalah dia rumit asal lo tahu."

"Apa salah gue bantu temen sendiri seperti lo bantu Anna?"

"Tapi kenapa lo gak ngomong dari awal?"

DeaLovaWhere stories live. Discover now