15

390 17 2
                                    

Cewek memang ahli menyembunyikan perasaan. Tapi mata adalah kunci jawabannya.

"Lazuardi"

***

Jika dikatakan baik-baik saja maka Dea akan membuatnya sedemikian rupa. Tidak ada hal yang sepatutnya untuk diharapkan lebih jika kemungkinan itu sulit untuk Dea wujudkan, maka hal yang harus Dea lakukan sekarang adalah menerima semua yang terjadi, entah itu menurutnya baik atau tidak tapi Dea akan menerima dengan hati yang berlapang dada.

Bersedih dan berkalut lebih lama malah akan membuat Dea semakin terjerumus ke dalam kesedihan yang tidak bisa tertolong. Dea bangkit dengan logika yang terus berputar bahwa hidup harus terus berjalan, menjadikan sebuah permasalahan dalam hidupnya menjadi buah dari kedewasaan.

Dalam lamunannya Dea sedikit terkesiap dirasa ada sentuhan lembut pada pundaknya. Bibir itu akhir-akhir ini terekam jelas dalam ingatannya sampai Dea sendiri sudah terbiasa dan sangat hapal siapa pemiliknya. Senyuman khas yang tidak ada seorang pun yang memilikinya. Dea baru menyadari bahwa sosok di depannya kini tidak seburuk apa yang dulu ia pikirkan.

"Akhir-akhir ini lo sering bengong."

Dea menatap jahil. "Perhatiin gue mulu ya." Sambil tertawa kecil.

"Gimana gue gak perhatiin lo mulu kalau sekarang lo sering muncul di sekitar gue."

"Kaya hantu dong gue!" Sarkas Dea menimbulkan gelak tawa.

"Emang! Datang tiba-tiba hilang juga tiba-tiba ... Naas."

Dea mendelik tidak suka. Kemudian ia beranjak dari posisinya mendekati sebuah pohon lumayan besar, pohon yang sudah tersedia sebuah ayunan. Dea menaikinya, mendorong ayunan dengan kakinya sendiri. Sesekali ia tersenyum merasakan ada rasa yang menyenangkan. Sudah lama sekali rasanya, mungkin sudah 4 tahun Dea tidak menaiki ayunan seperti ini. Tiba-tiba senyuman Dea memudar mengingat kejadian itu, bukannya Dea tidak mau mengingat akan tetapi moment sekarang ini dirasa tidak cocok.

"Seneng banget deh lo naikin ayunan gue."

"Jangan gitu lah. Gue berterima kasih nih karena lo udah bikin ayunan ini. Rasanya gue kembali ke masa bocah," ujar Dea dengan cengirannya.

"Lo emang masih bocah!"

"Gak apa-apa bocah, berarti gue masih imut, kan?"

Orang itu menampilkan wajah masamnya, tujuannya tidak lain memberitahukan pada Dea bahwa apa yang Dea bicarakan bukanlah sebuah kenyataan.

"Kayanya ortu gue salah milih rumah, kenapa juga harus tetanggaan sama lo?" Dea terkekeh sambil menikmati tubuhnya yang mengayun ke depan dan ke belakang membuat rambutnya yang kebetulan terurai ikut mengalun seirama angin yang membawanya.

"Nasib lo."

Orang itu lagi-lagi tersenyum, tidak bisa mengalihkan pandangannya selain pada Dea. Memang, menurutnya Dea itu terlihat seperti anak kecil tapi terkadang selain dari sikap itu dirinya bisa melihat sisi dewasa dari seorang Dea.

"Gue percaya suatu saat Anna bakal balas perasaan lo selagi lo menjadi diri sendiri dan memperlihatkan kharisma lo sama Anna. Anna memang cewek cuek, tapi percaya deh, sedinginnya hati cewek jika ada seseorang yang terus menghangatkannya hati itu akan meleleh, tidak akan melihat rupanya tapi dia akan melihat bagaimana perjuangan lelaki itu."

"Hampir tiga tahun gue berusaha dapetin Anna, semakin lama gue malah semakin merasa Anna tidak bisa gue jamah hatinya sedikit pun. Gue merasa ada sesuatu yang membuat Anna gak bisa membuka hatinya ke gue."

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang