23

307 16 2
                                    

"Holay bang Luzu apakabs?"

Merasa terpanggil, sang empu mendengus tidak suka. "Alay."

"Masih pagi loh tapi mukanya udah keliatan seneng gitu?" Terkekeh kegelian.

"Emang ya, bener kata orang kalau mata lo kesumpel kotoran. Gak bisa bedain mana muka seneng mana muka kesel."

Dea semakin gencar saja ingin menggoda. Tadi Dea berniat ingin cepat-cepat pergi ke kelasnya saja tapi ternyata pandangannya teralih pada sosok yang entah kerajinan atau apa pun itu yang sudah berdiri sambil menjalankan tugasnya menempelkan panflet di mading sekolah, sendirian pula.

"Widiiih. Asik nih ada festival musik."

Dea terlihat antusias dengan seksama membaca brosur edaran itu.

"Gak usah berlaku so seneng kalau nyatanya lo sama sekali gak ngerti soal acara ini."

Hal yang Dea yakini saat ini adalah, sosok Lazuardi itu sebelas duabelas dengan Lova. Mulut mereka gak segan untuk membuat mood Dea jadi down.

"Lo jangan lupa kalau gue ikut ekstrak musik," ujarnya berniat sombong.

"Gak mau tahu tuh, gak penting juga."

Tanpa melihat ke arah Dea pun, Lazuardi bisa menebak jika saat ini Dea tengah mencak-mencak kesal.

"Kalau soal ini lo yakin gak mau tahu?"

Spontan saja sudut mata Lazuardi melirik sedikit saking penasaran. Begitu melihat dengan jelas apa yang dia pegang dan digoyangkan ke udara mata Lazuardi melebar.

"Jadi lo yang ngambil kunci loker gue?"

Dea cekikikan, tidak menyangka respon Lazuardi akan sekaget itu. Memangnya ada apa di dalam loker miliknya sampai ia tidak rela jika kunci lokernya di ambil oleh Dea dengan sembunyi-sembunyi.

Dea awalnya tidak berniat untuk menjahili temannya itu, tapi ketika kemarin ia kesal dengan tingkah laku Lazuardi yang dengan tega mengganggu ketenangan Dea saat sore hari dengan mendatangkan kucing peliharaannya ke dalam kamarnya. Tentu saja saat itu Dea berteriak histeris sampai seluruh keluarganya berdatangan menanyakan keadaan Dea.

Lazuardi yang pada saat itu bersembunyi tertawa keras hingga persembunyiannya di balkon luar bisa Dea ketahui.  Pada saat itu juga Dea berjanji akan melakukan pembalasan.

"Kunci lo yang datangin gue. Mana mungkin gue ngambil tanpa bilang."

"Lo emang bego! Gini nih waktu pembagian otak lo malah gak datang."

Tawa Dea malah semakin keras. Tidak tersinggung sama sekali.

"Waktu itu gue lebih mentingin ngantri buat dapatin hati," jawab Dea.

Lazuardi menatap tajam, kilatannya memang baru pertama kali bisa Dea lihat. Biasanya Lazuardi tidak menatap seperti itu.

"Wajar sih, kan cowok lebih milih otak dari pada hati. Makanya lebih mentingin logika daripada perasaan." Dea berucap asal, seketika tatapan Lazuardi melemah. Meski Dea berucap dengan segurat senyuman tapi Dea tetaplah wanita yang tidak bisa menyembunyikan kesedihan dari matanya.

"Kenapa semua cewek hal apapun itu selalu disangkutkan dengan perasaan seolah di dunia ini tidak akan ada yang lebih baik dari sebuah perasaan? Open minded, please! Tidak semua orang perasaannya akan sama."

"Justru itu. Selagi perasaan yang dimiliki setiap orang itu tidak sama tetapi dengan perasaan akan muncul rasa saling menghargai." Jawab Dea lagi seperti orang serius saja.

Lazuardi berdecak. "Lo terlalu lebay." 

"Lo terlalu menggampangkan sebuah perasaan. Tunggu aja, suatu saat lo bakal ngerasain gimana sebuah perasaan tidak dihargai."

DeaLovaWhere stories live. Discover now