66

142 12 0
                                    

"Pernah terluka karena melakukan sesuatu yang benar? Terluka karena kata benar itu adalah untuk hidupmu dan tidak benar untuk orang sekitarmu."

###

Beberapa hari kebelakang Dea mengurangi pemakaian ponselnya, ia seperti masuk ke dunia yang berbeda, tidak mengenal sosial media untuk sementara waktu, tidak mengetahui bagaimana kabar teman-temannya. Dea sungguh merasakan perbedaan yang sangat besar, kesehariannya tidak jauh dari menonton drama yang sudah ia stok sebelumnya.

Mengenai hari kelahirannya tahun ini, Dea tidak akan menduga bahwa ia bisa merasakan hari yang biasanya terasa istimewa kali ini terasa hampa, tawa yang biasanya ia lihat sampai larut malam, suara bising yang berasal dari teman-teman dan keluarganya hari itu Dea tidak bisa merasakannya. Malam itu hanya ada empat laki-laki yang dengan maunya menemani malam pergantian usia Dea. Dengan ditiupnya lilin berangka 20 mata Dea tertutup rapat, selalu memanjatkan doa yang terbaik untuk dirinya dan orang sekitar. Detik itu ujung mata Dea berair dengan bersungguh-sungguh agar apa yang ia doakan bisa terkabulkan.

Malam itu Dea masih bersyukur bahwa Lova masih berada di sampingnya, masih bisa memberikan senyuman kepada Dea, sama-sama mengharapkan suatu kebaikan untuk kedepannya. Di samping itu Lazuardi pun hadir dengan sikap yang sedikit berbeda, tidak banyak bicara dan lebih banyak mengobrol dengan Deon daripada dirinya. Terlepas dari itu semua, ketika Dea merasa euforia yang berbeda daripada tahun sebelumnya. Dea sungguh bahagia, meskipun rasa itu hanya sekejap ketika Dea memasuki kamarnya, senyuman yang tercetak di bibirnya perlahan mendatar, bahunya merosot bersamaan helaan napas yang sering kali ia lakukan akhir ini.

"Dea, menurutmu mana yang lebih bagus?"

Mata Dea melirik pada dua gaun yang Rima tunjukkan. Gaun berwarna merah marun akan telihat anggun ketika Dea membayangkan bahkan ia akan memakainya dan yang satunya akan terlihat kontras dengan warna kulit Dea yang tidak terlalu putih.

"Aku lebih suka yang merah marun, Bun."

"Kamu benar, selera kita memang sama," ujar Rima sambil mengambil gaun tersebut dan memisahkannya.

"Kamu tahu apa yang ada dalam pikiran Bunda saat ini?"

Dea menggelengkan kepalanya lemah.

"Bunda gak tahu bagaimana harus mengucapkan selain kata terima kasih sama kamu yang sudah mau menerima Lova kembali dengan melupakan kesalahan yang pernah ia lakukan. Sepertinya Lova sudah menyadari dengan perasaannya terbukti dengan ia yang terlihat lebih fresh akhir-akhir ini."

Dea tersenyum, memeluk tubuh Rima perlahan. "Aku senang mendengarnya, Bun. Terima kasih."

"Bunda lebih senang daripada kamu."

Dea terkekeh, tangannya merapihkan anak rambutnya. "Bun, kayanya aku harus pergi duluan. Aku baru aja dapat pesan dari Lova kalau ia udah nunggu di luar."

"Loh, kalian mau kemana?"

"Aku gak tahu, soalnya Lova gak bilang. Gak apa-apa kalau aku tinggal?"

"Yaudah kamu cepetan susulin Lova aja, lagian Bunda masih mau jalan-jalan ko."

***

Di sepanjang perjalanan suasana didominasi oleh suara radio yang memainkan musik dari beberapa musisi yang hampir Dea kenali.

"Lo udah memutuskan buat kuliah dimana?"

"Belum, tapi kayanya masih disini dan gak ada niatan buat keluar kota atau bahkan ke luar negeri."

Lova mengernyit heran, "kenapa?"

"Gue insecure dengan kapasitas otak gue yang segini, masih untung kalau nanti ada yang nerima gue. Swasta juga gak apa-apa, yang penting kuliah."

DeaLovaWhere stories live. Discover now