39

290 11 0
                                    

Dea mengeluh saat ini. Entah sudah berapa hari dia absen dari kelasnya. Dan kini ia sudah banyak ketinggalan pelajaran, dan entah siapa yang harus ia andalkan untuk menanyakan pelajaran yang sudah tertinggal. Menatap kosong ke depan, tepat dimana seorang guru sedang menerangkan materi sejarah. Entahlah, Dea tau mau memahami apa yang guru itu bicarakan. Karena sekarang perutnya sedikit bergejolak entah karena apa. Padahal pagi tadi dia tidak melewatkan sarapannya. Lagian jika Dea melakukan itu yang ada akan dicecar habis oleh Deon dan Ka Abi. Oh... jangan lupakan juga ibu tirinya yang ikut-ikutan seolah peduli pada Dea saat itu. Dea berdecis jika mengingatnya.

Dea menelungkupkan kepalanya di meja, mengarah ke arah kanan dengan tangannya sebagai bantalan. Tepat saat itu matanya bertemu dengan kedua mata Lova yang kebetulan juga sedang menatap Dea. Entah sudah dari tadi Lova memperhatikannya atau bersamaan dengan Dea.

Dea sedikit terpaku, tidak bisa beralih ataupun berucap. Seolah terhipnotis dengan kedua mata yang sudah dari dulu Dea sukai. Pergerakan yang bisa Dea lihat sekarang adalah Lova yang sedang entah mencari apa di dalam tas nya.

"Wajah lo keringatan. Lo gk apa-apa kan?"

Dea melihat Lova yang meyerahkan sapu tangannya. Sedikit berbisik menyeruakan kekhawatirannya. Dan benar saja begitu Dea mengusap keningnya ia bisa merasakan keringat di daerah sana. Tanpa mengambil sapu tangan yang Lova berikan, Dea justru mengambil tisu yang sudah disediakan di kolong meja. Mengusap wajahnya dengan cepat lalu membuangnya.

Lova tersenyum kecut mendapatkan dirinya yang lagi-lagi diabaikan oleh Dea. Entah harus apa yang ia lakukan untuk meyakinkan Dea kembali.

Seketika Lova mengingat apa yang Gara ucapkan beberapa hari yang lalu, dia yang mengatakan jika dirinya akan mengambil Dea suatu saat nanti.

Ancaman yang begitu menggertakan.

Selain itu, Lova pun mengingat apa yang Gara katakan jauh sebelum masalah ini terjadi.

"Lo cuma harus menjauhi akar masalah hubungan kalian. Kemanusiaan memang harus kita lakukan, tapi tetap saja jika di samping itu lo melukai hati Dea, usaha lo sia-sia."

"Jauhi Anna."

Jika saja apa yang Gara ucapkan itu sangatlah mudah, mungkin jauh-jauh hari Lova akan melakukannya. Tapi sekarang, Lova menyadari dirinya terlalu mengundurkan waktu untuk melepaskan Anna sampai hatinya kini tidak rela jika ia benar-benar harus melepaskan Anna. Sebut saja egois, brengsek dan tidak tahu malu, karena nyatanya Lova menyadari rasa sayangnya sudah terbagi.Ini adalah keburukan yang ia miliki dan sangat telat untuk menyadari.

Suara gaduh terdengar. Ternyata guru sejarah sudah menyelesaikan pelajarannya dan waktu pulang pun tiba. Lova bergegas membereskan barangnya sedikit tergesa karena sekarang ia harus melakukan sesuatu.

"Dea tunggu sebentar."

Lova segera mencegat Dea yang hendak pergi. Semua temannya berangsur meninggalkan kelas sampai kini menyisakan mereka berdua.

"Bunda pengen ketemu lo. Bisa ke rumah gue sekarang."

Lama terdiam menunggu jawaban Dea. Akhirnya bibir Lova sedikit mengangkat ke atas begitu mendapat anggukan dari Dea.

"Kita ber—"

"Gue dianter Deon. Lo duluan aja, nanti gue nyusul."

Tidak bisa berkata banyak pasalnya Dea benar-benar membatasi interaksi dengan dirinya. Lova membuang napasnya berat, menyusul Dea yang sudah lebih dulu keluar.

"Lova!"

Lova menoleh. Menyadari siapa yang datang spontan saja ia tersenyum dengan jarak mereka yang semakin dekat.

DeaLovaWhere stories live. Discover now