44

228 12 0
                                    

Dea, gue butuh lo!!!!!!!

Detik itu juga Dea loncat dari tempat tidur, bergegas memakai jaket dan menarik asal sling bagnya. Berkali-kali ia mendial nomor tersebut namun tak kunjung diangkat. Dea berdecak, tangannya terus saja memencet klakson agar deretan mobil di depannya segera berjalan, namun lampu merah kini menyala membuat Dea berkali-kali menggeram kesal.

Membutuhkan waktu lebih dari 30 menit. Akhirnya Dea sampai di tempat tujuan, pelataran sebuah Apartement mewah dengan gedung menjulang tinggi. Ini baru pertama kali Dea ke sini setelah dalam perjalanan Dea mendapatkan pesan sebuah alamat baru.

"Kenapa harus lantai 30?!"

Dea kesal sambil memijit tombol lift yang akan membawanya ke lantai yang Dea benci. Jangankan lantai 30, lantai 10 pun Dea sangat ketakutan. Dea sangat parno, ia selalu membayangkan jika saja ia sedang di lantai atas bagaimana ketika pada saat itu terjadi gempa bumi yang begitu besar. Apa yang akan ia lakukan selain berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkannya?

Dea mendial lagi nomor tersebut, menunggu beberaoa detih hingga diangkat.

"Nomor berapa?" Tanya Dea sengit. Kakinya menelusuri lorong kamar yang sangat sepi. Hingga menemukan nomor kamar 423 Dea berhenti di depannya dan mematikan sambungan di ponselnya.

Begitu hendak memencet bel, pintu tiba-tiba terbuka dari dalam menampilkan seorang laki-laki yang terlihat menyedihkan.

"Lo gak berniat buat tinggal di lantai 50, gitu?" Pertanyaan pertama begitu Dea memasuki apartement itu.

"Jangan ditutup, biarin aja pintunya setengah terbuka." Hardik Dea begitu melihat laki-laki itu hendak menutup dan mengunci pintu.

"Gue gak bakal ngapain lo." Ringisnya.

"Lo bahkan pernah nginep di rumah gue." Lanjutnya lagi membuat Dea memicing tidak suka.

"Kapan lo pindah ke sini? Duit lo kebanyakan, ya?"

"Dua minggu yang lalu. Dan ya."

"Ko lo gak ngasih tahu gue?"

"Gue fikir, lo gak bakalan mau ke sini terkecuali lo tau keadaan gue yang sekarang."

Dea diam dengan mata yang menjelajah setiap sudut ruangan demi ruangan. Sangat mewah, jika Dea tinggal ia yakin untuk beranjak dari kamar pun Dea tidak akan bisa.

"Ini yang bersihin siapa kalau luas kaya gini?" Tanya Dea lagi penasaran.

"Gue nyuruh lo ke sini bukan buat jadi wartawan, btw." Serunya sedikit kesal.

Dea mengangguk. Duduk di sofa yang sangat sangat sangat empuk Dea rasakan. Merasakan takjub, Dea memejamkan matanya menikmati aroma ruangan yang Dea sukai.

"Lo gak usah kampungan, deh."

Dea membuka matanya sambil menyengir. Menatap laki-laki itu dengan polosnya.

"Kurang banyak."

"Apa?"

"Luka di wajah lo kurang banyak."

"Sialan."

"Bahkan gue berharap lo hampir mati dan dibawa ke rumah sakit. Biar dokter yang rawat lo, bukan gue. Biar Ayah lo juga sadar."

Dea berucap penuh dengan kesadaran. Ia bukan semata-mata meluapkan kekesalannya pada laki-laki itu dengan mengharapkan yang tidak-tidak. Namun Dea sangat menyangkan sikap pengecut yang dimiliki orang di depannya.

"Gue kira lo udah terbuka sama pacar lo. Tapi nyatanya enggak. Lo malah panggil gue lagi saat keadaan lo lagi-lagi kaya gini."

"Itu gak mudah buat gue, Dea."

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang