25

288 20 0
                                    

"DEA!"

"DEA... BANGUN WOY! INI UDAH SORE, PAMALI KALAU TIDUR."

"KALAU GAK BANGUN, GUE DOBRAK NIH."

Dea yang baru saja keluar dari kamar mandi nampak heran. Orang di luar sana terlalu percaya diri menganggap bahwa dirinya tengah tertidur, bahkan jangankan untuk tertidur memejamkan mata sebentar saja ia merasa tidak di perbolehkan. Kalau saja bunyi dering ponselnya yang tidak terus menerus berbunyi dia mungkin saja bisa melakukan hal itu— tidur. Tapi sialnya, orang yang sedang Dea hindari belakangan hari ini tidak menyerah untuk membuat Dea luluh.

"Berisik!" Dea berucap sengit begitu pintu kamar terbuka. Dan orang itu sedikit terkejut oleh kedatangan Dea yang begitu saja ada di hadapannya.

"Udah bangun ternyata lo."

Dea menatap jengah. "Gue emang gak tidur. Lo nya aja yang so tahu."

"Lo mau ngapain, sih. Sore begini ke rumah gue , Laz?"

Wajah Lazuardi berubah antusias, seperti sedang mendapatkan sesuatu yang begitu berharga. Kemudian, Lazuardi menarik Dea ke luar membuat Dea mengoceh dari tadi karena Lazuardi begitu menyebalkan menarik tangannya begitu saja. Lazuardi yang ternyata pemaksa membuat Dea sangat tidak menyukainya, sifat yang satu ini menjadi kesamaan antara Lazuardi dan Lova. Dea berdecis, fikiranya meluluhlantahnya pertahanan dirinya agar tidak memikirkan Lova untuk saat ini.

"Surprise..."

Dea diam. Matanya tidak beralih ke mana pun. Ia sangat terkejut, benar-benar terkejut saat ini.

"Keren kan? Gue baru beli nih."

Dea menoleh, ia tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Orang di hadapannya benar-benar setiap hari bisa membuatnya merasakan kejutan dengan cara yang berbeda-beda dengan kesan tentu saja memberikan kesan yang berbeda pula.

"Mau main?" ajak Lazuardi dengan suara pelan. Dan kemudian tanpa ragu Dea mengangguk sambil menarik bibirnya ke atas.

"Lo salah mencari lawan." Begitu ucap Dea sebelum mengambil bet pingpong yang sudah menjadi teman kecilnya.

"Oh, ya? Kita buktikan."

Saat itu lah, saat dimana Dea merasa semua beban dalam hidupnya meluruh entah kemana. Yang ada hanya kebebasan saat menertawakan kekesalan Lazuardi yang dibuat kalang kabut oleh permainannya, terus-terusan menyumpah serapahi Dea dengan ucapan yang begitu menggelikan. Dea berfikir mungkin kejadian ini adalah kejadian dimana Dea kembali pada saat dirinya tidak tahu bagaimana kerasnya dunia.

Senyuman Lazuardi yang Dea baru sadari kali ini begitu berbekas dalam ingatannya seketika membuat dirinya terdiam menikmati. Tatapan terpakunya mengisyaratkan sesuatu yang sangat sulit untuk dijelaskan bahkan dirinya tidak tahu entah kenapa bisa merasakan hal awkward seperti ini. Sosok Lazuardi yang awalnya begitu menyebalkan ternyata kini yang bisa membuat Dea melupakan permasalahan yang terjadi, cara perlakuan Lazuradi yang membuat Dea merasakan kehangatan dari tingkahnya. Seolah menjadi pengobat kegelisahan yang Dea alami saat ini. Perlahan demi perlahan tanpa Dea sadari kenyamanan sudah ia rasakan karena terbiasanya kebersamaan mereka selama ini. Ada luka yang membuat mereka saling melampiaskan sehingga kebersamaan itu cukup berarti dimana menghasilkan kenyamanan yang belum mereka sadari atas dasar apa.


***


Mungkin semua orang pernah mengalami disaat mencoba untuk menghindari seseorang namun keadaan seperti tidak mendukung apa yang kita inginkan. Ingin pergi menjauhi namun terlanjur diketahui orang itu, tetapi jika berlama-lama dalam ruangan bersamanya hanya akan membuat diri sendiri tidak nyaman. Mungkin bagi Dea untuk menghindari agar tidak menemui Lova hanya menjadi angannya saja, pasalnya keadaan mereka yang ditempatkan di kelas yang sama tidak memungkinkan Dea untuk tidak bertemu dengannya. Kemarin Dea bisa saja bersyukur karena jadwalnya yang padat sehingga tidak bisa berinteraksi dengan Lova. Namun kali ini, ia hanya terduduk gelisah. Tidak bisa menempatkan dirinya dengan rileks. Beberapa kali sudut matanya melirik ke arah Lova yang duduk tepat di sampingnya. Tidak melakukan apa-apa yang membuat Dea merasa jengah dengan tindakannya, namun yang Lova lakukan saat ini adalah menatap Dea dengan terang-terangan, lantas hal itu membuat Dea merasa risih. Diam namun memperhatikan, bagaimana mungkin Dea tidak salting sendiri. Rasanya untuk bernafas saja Dea merasa tidak leluasa.


"Lova..."

"Udah bisa ngomong sama gue?" Dea membisu. Tubuhnya menghadap Lova yang kini menatap lurus.

"Bukannya lo gak mau ngomong sama gue selama waktu yang lo inginkan?"

Dea menatap heran, kemudian menggeleng kepala bentuk menyanggah atas ucapan Lova.

"Membuat jarak bukan berarti berhenti berbicara dan berinteraksi." Lantas saja Lova tersenyum kecil namun hanya beberapa detik saja sebelum menatap Dea intens.

"Lalu yang lo lakuin kemarin itu apa artinya? gue coba ngajak lo ngobrol, hubungi lo puluhan kali tapi gak diangkat satu kalipun."

Dea menahan nafas. "Gue belum siap."

"Lakuin apa yang lo mau. Lo bebas mengabaikan gue dengan waktu yang lo kehendaki. Gue terima usulan lo untuk memberikan gue waktu agar menata hati, apa yang gue rasain, apa yang sebenarnya gue inginkan. Tapi satu yang gue ingin."

"Jangan larang gue untuk memperhatikan lo. Gua hanya ingin tahu bagaimana keadaan lo tanpa gue! Setidaknya gue bisa mastiin lo baik-baik saja dangan menjaga lo dalam jarak yang jauh."

Dea semakin terdiam tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di lain sisi ia memikirkan perkataan Lova, selain itu pula perasaan Dea mulai mencelos takut akan sesuatu yang tidak Dea inginkan. Munafik memang, dan begitu egois. Rasa takut kehilangan Lova semakin membesar tetapi Dea tidak bisa melupakan bagaimana rasa sakit yang ia alami atas tindakan Lova.

"Bagaimana pun keadaan kita, gue tetap gak bisa mengabaikan lo karena lo udah gue anggap sebagai tanggung jawab gue setelah gue memutuskan untuk menempatkan lo di hati gue. Mungkin lo benar jika saat ini gue sedang keliru dan sedang bimbang. Tapi yang harus lo tahu bagi gue cinta tidak segampang itu untuk berpaling."

Dan kini Dea benar-benar melihat tubuh Lova yang menjauh. Seolah akan pergi untuk selamanya, langkah Lova yang semakin membuat jarak diantara mereka menyisakan kesesakkan bagi Dea. Hal ini yang Dea inginkan tetapi kenapa malah akhirnya membuat Dea ingin menarik saja perkataannya beberapa hari yang lalu. Apakah ia benar-benar bisa jauh dari Lova? seseorang yang membuatnya kuat disaat ia dalam titik nadir terendah dalam hidupnya. perjalanan yang begitu jauh ia jalani bersama Lova berakhir tanpa kejelasan yang entah sampai kapan akan kembali untuk merajut kasih seperti semula. Semakin bias, semakin tak tentu bagaimana semestinya langkah Dea ambil.

Break?

Dalam hidupnya Dea tidak terfikirkan bisa mengalami masa seperti ini.

Ketidakjelasan.

Hampa yang mendera.

Dan, rindu yang menyiksa.

Siapkah dirinya?









To be continue.


DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang