11

386 15 5
                                    

MAAF

Menjadi munafik agar disukai? Lebih baik dibenci walaupun kau akan menjauhi.

~DeaLova~

***

Cklk...

Dea tersentak kaget. Ia berbalik badan dan sedikit mundur, matanya terpaku pada pria yang sekarang nenatapnya dengan sorot yang sama terkejutnya dengan Dea. Sama-sama saling melempar tatapan tanpa ada yang ingin membuka pembicaraan, seketika membuat Dea semakin merasa canggung, bibirnya sangat kelu, antara ragu atau takut.

Sekian detik tubuh Dea diseret begitu saja. Menatap nyalang tangannya yang ditarik dengan kencang, mencoba menyamakan langkahnya namun dia sangat kesulitan karena pria itu benar-benar membuat Dea kewalahan. Langkah mereka berhenti kira-kira beberapa meter dari ruangan Anna, tempat yang lumayan sepi dan jarang sekali orang lain melewatinya. Pria itu berbalik, tatapan teduh ditujukan pada Dea yang masih takut. Hingga sesuatu hal terjadi pada mereka membuat Dea seketika menahan napas.

Pria itu memeluknya erat sampai Dea tidak bisa lagi bernapas lega. Tubuhnya benar-benar terhimpit. Selain berusaha untuk menetralkan detak jantungnya, matanya menyapu ke sekeliling berjaga-jaga jika ada orang yang melihat hal ini. Dan persetan dengan itu semua, mata Dea seketika memanas, menyadari hal yang ia rasakan, relung hati yang sempat merasakan sesak. Sampai ia ingin sekali bersikap egois, namun beruntungnya akal masih ia pakai.

"Maaf."

Satu kata yang membuat hatinya mencelos. Tak urung ada rasa lega yang Dea rasakan.

"Lova..." Dea melingkarkan kedua tangannya di pinggang pria itu. Perasaan lega semakin menjalar dalam tubuhnya menghilangkan rasa sesak dan kekecewaan yang sempat Lova berikan.

Mereka saling memeluk, menyalurkan berbagai perasaan yang singgah, entah itu luka atau kebahagiaan juga tak tertinggal adalah penyesalan.

"Dea maafin gue."

Sekali lagi Lova berucap penuh penyesalan. Kentara sekali suara nyalang itu terdengar pilu. Dea menguraikan pelukannya. Kedua tangannya menangkup wajah Lova yang nampak lesu apalagi sorot matanya sendu sekali. Dea menggeleng pelan seraya tersenyum.

Munafik sekali, apa yang selalu ia perlihatkan selalu berlainan dengan apa yang ia rasakan. Itulah Dea yang banyak orang tidak tahu.

"Seribu limu puluh lima," ujar Dea. Bibirnya tersenyum kecut.

Raut wajah Lova semakin masam. Ia memejamkan matanya dengan tangannya memegang tangan Dea yang masih berada di antara kedua pipinya. Sama seperti Dea, ada rasa sesal yang hinggap sampai Lova tidak berani menatap Dea terlalu lama.

"Seharusnya gue gak marahin lo kaya tadi. Perkataan gue emang keterlaluan."

"Iya. Lo bener... sampai gue rasanya mati kutu untuk berdiri, bagaimana takutnya melihat kemarahan lo yang menjadi kelemahan gue. Dan perkataan lo yang bener-bener menusuk." Ingatan Dea mengarah pada kejadian waktu itu. Ia lagi-lagi tersenyum miris.

"Setelah sekian lama. Kata itu baru gue dengar hari ini tepat lolos dari bibir lo."

"Maaf, gue emosi waktu itu," ucap Lova lemah.

"Seribu lima puluh enam. Lo tahu kata maaf dari lo selalu gue hitung? Dan sebanyak itu pula gue selalu maafin lo tanpa harus lo susah payah untuk mengemis."

"Dan bodohnya gue selalu melakukan kesalahan yang sama sampai kata maaf itu terlalu sering lo dengar," sahut Lova.

"Lo harus tahu. Terkadang gue maafin lo bukan berarti gue memaafkan sepenuhnya, hanya saja gue gak mau memperumit keadaan." Dea mundur, memberikan jarak antara mereka.

DeaLovaWhere stories live. Discover now