38

269 15 0
                                    

Saat pertama kali menginjakkan kaki di atas pasir putih yang sangat lembut dan semilir angin yang sangat menyejukkan juga langit yang begitu cerah menampilkan bagaimana matahari hari ini begitu terang benderang, Dea menghirup udara begitu serakahnya seakan ia hanya memiliki pasokan udara yang begitu limit. Jika menjabarkan bagaimana indahnya ciptaan Tuhan, maka Dea sama sekali tidak bisa meski ribuan tahun lamanya ia hidup suatu saat nanti.

"Masih mau nyesel ikut?"

Seruan di sampingnya perlahan membuat kedua mata Dea terbuka. Menelisik lebih jauh sorot kedua mata di depannya yang merawang jauh ke sana. Kedua bola mata itu, jujur saja Dea sedikit mengagumi indahnya. Dan, didukung dengan alis tegas yang menantang semakin menjadi daya tarik yang dimiliki laki-laki ini.

Dea berpaling. Dilihatnya Maharani yang sudah asik bermain pasir dan air, tidak menghiraukan panas matahari yang bisa saja memberikan dampak besar pada kulit putihnya. Dea berdecak, Maharani tentu saja tidak akan membiarkan hal itu karena dengan sangat yakin sebelum melakukannya, Maharani sudah memberikan beberapa lapisan sunblock pada tubuhnya. Mengenal Maharani yang suka merawat tubuh tentu saja Dea sangat yakin gadis itu tidak akan bertindak yang dapat merugikan dirinya.

"Meskipun begitu, gue masih enggan buat ngucapin terima kasih ke Lova."

Kendati kemudian, kekehan kecil terdengar oleh Dea. Sedikit heran karena ini kali pertama Dea mendengar laki-laki di sampingnya bisa bereaksi selain dengan wajah datar dan tatapan tajam yang selalu ia berikan kapanpun dan dimanapun.

"Apa yang ada di diri Lova yang gak lo suka sampai awal pertemuan pun lo udah pasang badan?"

Dea mengembuskan napasnya. "Banyak!"

Termasuk benar-benar awal pertemuannya tanpa Gara dan Maharani ketahui.

Lebih tepatnya di lampu merah dan juga...

Caffe bundanya.

Setelah berhasil membuat Dea kesal karena Lova yang melanggar peraturan dan hanya diam di atas motor dengan memberikan tatapan tajam. Laki-laki itu malah beraninya menggoda Dea tepat di Caffe milik bundanya. Bagaimana tidak nyelenehnya laki-laki itu. Dan sekarang, Lova sudah berhasil mengusiknya dengan membuntuti dirinya kapanpun dan dimanapun.

"Wajah kalian itu gak ada bedanya, tapi sifat kalian masih bisa gue bedain. Entah yang lainnya."

"Termasuk kesukaan. Lo bisa bedain antara gue sama Lova?"

Dea mengedikkan bahunya, mengenai hal itu sepertinya akan sulit. Pertama, Dea belum cukup mengenal kedua kembaran ini. Kedua, Dea tidak mau repot-repot untuk memikirkan hal yang tidak ada untungnya.

"Gue fikir. Dalam menyukai cewek kita sama-sama mempunyai selera yang sama."

Flashback Off

***

Dea mematut dirinya di cermin. Wajah pucat pasinya berhasil membuat Dea tidak mengenali dirinya sendiri. Sore tadi, Dea berhasil keluar dari tempat yang amat sangat Dea tidak disukai. Dan sekarang ia sudah berada di kamar yang begitu asing baginya. Tangannya masih menggenggam ponsel karena baru saja ia kedapatan satu pesan yang memberikan pengaruh bagi Dea.

Sepertinya bunda harus memundurkan hari kepulangan bunda. Pekerjaan di sini cukup menguras. Kamu sudah makan?

Sudah.

Selepas itu tak ada lagi balasan dari bundanya. Satu yang bersarang di dalam pikiran Dea saat ini mengenai bundanya yang lebih memilih pekerjaannya.

"Setelah pertemuan Nda sama Ayah hari itu. Nda lebih memilih fokus untuk bekerja daripada melihat langsung bagaimana keadaan aku saat ini." Dea tersenyum getir. Ia tidak bisa menyalahkan bundanya begitu saja. Bagaimanpun ia mengerti bagaimana perasaan bundanya yang sedikit terguncang dengan kembalinya kehadiran ayahnya selama ini. Bunda masih belum bisa menerima kenyataan yang sudah membuatnya berusaha keras menjalani hidup dengan usahanya sendiri.

Suara pintu terbuka cukup mengalihkan perhatian Dea. Kepala yang menyembul dari luar sana memandang ke arah Dea. "Makan malam udah siap."

"Dea mau istirahat."

"Kalau begitu nanti ka Abi bawa makanan mu ke sini. Kamu harus makan sebelum minum obat." Dea mengangguk tanpa bersuara lagi. Kakak laki-lakinya. Lebih tepatnya kakak tirinya itu sudah keluar dengan senyuman yang selama ini selalu diberikan pada Dea. Usahanya untuk bersikap baik pada Dea masih saja belum menyerah agar bisa mendapatkan hati Dea untuk bisa menerima sepenuhnya.

Dea beranjak, merebahkan dirinya di atas kasur yang entah siapa pemiliknya. Menarik selimut sebatas perutnya, menarik napas dengan teratur berharap sang mimpi akan menjemputnya.

Meski begitu, berapa lama Dea menatap langit-langit. Berapa banyaknya Dea mengitung kelinci dalam hayalannya. Rasa kantuk itu belum juga Dea dapatkan, yang ada ia masih terjaga dengan banyaknya pikirian yang mengantri dalam otak Dea seolah tidak membiarkan Dea untuk mengabaikannya.

Suara ketukan dari luar kembali terdengar. Membangkitkan Dea dari posisinya. "Masuk."

Merasa mendapatkan izin dari sang pemilik. Pintu pun perlahan terbuka. Seseorang dengan membawa nampan yang sudah bisa ditebak jika itu adalah makan malam untuknya. Namun, hal yang membuat Dea terusik adalah siapa yang saat ini membawakan makanannya.

Dari sudut matanya Dea bisa melihat sosok itu sudah berada di dekatnya. Menarik kursi lebih dekat dengan Dea. Dea sama sekali tidak mau menampakkan wajahnya dan enggan untuk melihat kedua bola mata itu.

"Sorry."

Dea menghela mendengarkan kata itu lolos dari bibirnya. Sebenarnya, ia pun tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini. Entah ia yang benar-benar marah atau ia yang merasa malu karena membenarkan ucapan dari orang itu.

"Gue minta maaf kalau ucapan gue waktu itu nyinggung lo. Gue emosi saat itu."

"Seberapa emosinya lo. Baru pertama kalinya lo kaya gitu."

"Gue cuman mau yang terbaik buat lo, buat kita."

"Tapi gak terbaik buat bunda."

"Bunda sudah dewasa yang bisa memahami situasi ini. Kita harus yakin kalau bunda lebih bahagia dengan keadaan yang sekarang. Kalau lo kaya gini, yang ada bunda malah sedih."

Dea menunduk. "Gue sebagai perempuan bisa ngerasain bagaimana perasaan bunda."

Deon menggeleng. Adiknya ini memang sangat sulit jika mengenai masalah ini.

"Makan dulu ya sebelum minum obat. Gue gak mau harus liat lo di rawat lagi. Inget. Kita bentar lagi UN."

Deon berdiri, menatap lekat Dea yang masih tidak mau menatap dirinya. Diacaknya puncak kepala Dea penuh sayang. Berharap semua akan baik-baik saja meski situasinya tidak akan sama.

"Selain lo, gue juga bisa merasakan apa yang bunda rasakan. Bukan gue yang sebagai perempuan. Tapi gue yang sebagai anaknya."


To be continue

DeaLovaWhere stories live. Discover now