46

286 12 0
                                    

Dea akan menduga hal ini bisa terjadi. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi saat Cika mengetahui luka yang didapat oleh Miki. Namun yang membuat Dea kesal adalah Miki yang masih bungkam akan masalahnya. Padahal Cika sudah beberapa kali membujuk Miki berkata jujur darimana asal luka itu. Dan Miki selalu beralasan bahwa ia mengalami kecelakaan. Dea menggelengkan kepalanya ketika Cika berkali-kali menyentuh wajah Miki lalu terdengar ringisan dari sang pemilik luka.

"Kalau kecelakaan, ini lukanya gak kaya gini." Cika menatap nanar. Sedangkan Miki mengalihkan wajahnya ke arah lain.

"Kamu berantem?" Dan Miki masih bungkam.

"Udahlah, Cik. Lagian wajar kalau cowok berantem. Gak keren kalau belum nyoba bogeman orang." Sahut Gara. Cika mendengus. Wajar apanya? Ini sudah kedua kalinya ia melihat Miki dalam keadaan seperti ini dan Miki selalu tidak berkata jujur.

"Lagian kan masih ganteng." Gurau Miki. Semuanya melingkarkan bola matanya.

"Apa? Kenapa? Kenyataannya, kan?" Bela Miki keukeuh. Dan Cika masih saja cemberut.

Di hadapannya, Dea masih bersedekap seraya menonton adu akting sepasang kekasih itu. Sedikit geli melihat Cika yang selalu merajuk pada Miki dan hanya dibalas candaan oleh lelaki itu.

"Eh tuan puteri baru datang!" Seketika semua tatapan mengarah ke arah yang sama. "Lo kurang sehat, Ann? Padahal kemarin masih baik-baik aja."

Tampaknya pakaian yang mereka kenakan sedikit basah. Mungkin karena kehujanan ketika akan menuju ke  caffe ini dari parkiran. "Sedikit demam." Jawab Anna. Tanggannya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Seharusnya gak usah maksain buat ikut. Di luar juga lagi hujan." Timpal Gara perhatian menimbulkan decakan dari Cika, Miki bahkan Dea pun.

"Gak apa-apa. Lagian, kan, tadi bareng juga sama Lova."

"Ya emang mau sama siapa lagi? Gue mah udah ada pawangnya, terkecuali Gara. Tapi gue yakin mana mau dia macet-macetan buat jemput lo."

"Nah, lo itu tahu."

"Harusnya dia bukan temen kita. Mana ada temen enak sendiri." Ejek Miki.

"Lo sewot amat dah, terserah gue dong. Gue cuma mau mengefektifkan waktu gue aja." Alibi Gara membela. Tangannya siap siaga untuk menyentil Miki jika lelaki itu bersiap menimpali. Namun ternyata Miki diam tak menyahut lagi.

"Takut, kan, lo."

"Gue cuman gak mau wajah gue kena bogeman lagi. Apalagi sama temen. Takut panjang lah urusannya." Jawabnya sekenanya.

Dea terkekeh geli menyadari maksud Miki, sudut matanya mengarah pada Lova yang masih diam semenjak kedatangannya. Lebih fokus pada ponselnya daripada ikut nimbrung percakapan mereka.

Dea rasa Lova masih sedikit enggan untuk memulai percakapan dengan Miki, bahkan Lova seolah tak mengindahkan kehadiran Miki sepanjang mereka berada di sana. Hal itu justru membuat Dea sedikit tidak enak kepada Miki. Beberapa kali Miki mengajak dan bertanya pada Lova dan hanya dijawab oleh gumaman singkat. Ternyata Lova masih sedikit keras kepala.

"Jadi gimana rencana lo?"

Dea mengernyit. "Rencana apa?"

"Lo pura-pura lupa apa pengen diingetin sama kita-kita?"

Kening Dea semakin mengkerut, beneran Dea masih tidak paham.

"Bulan depan ulang tahun lo, kan? Nah biasanya lo selalu ada rencana buat ngerayain. Misalnya ngajak ke Bali gitu?"

Satu gulungan tisu berhasil mendarat di kepala Miki. Gara pelakunya.

"Sensi amat lo dari tadi!" Kesal Miki membalas. Dea menggeleng lagi-lagi melihat ulah kedua orang itu yang tidak bisa berhenti untuk beradu mulut.

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang