33

300 18 1
                                    

"Lo yakin mau pulang?"

"Lo udah puluhan kali tanya itu dalam sejam," ujarnya jengah.

"Gue cuma meyakinkan keadaan lo, wajah masih pucat begitu ko maksain pulang sekarang, sih?"

Dea berhenti dari aktifitas memainkan ponselnya, menatap kesal Gara yang terus saja mencoba untuk menggagalkan niat Dea yang ingin segera pulang. "Rumah sakit adalah salah satu tempat yang gue hindari, you know?"

"Gue tahu, tapi coba lihat keadaan lo sekarang itu kaya gimana? lo pulang dalam keadaan kaya gini malah bikin Bunda lo semakin curiga."

" Semalam lo larang gue buat ke sini, nyuruh gue buat bilang ke Bunda kalau lo lagi sama gue. Tapi sekarang lo maksain diri buat pulang dalam keadaan gini. Sia-sia  usaha gue semalam." Lanjut Gara lagi meyakinkan.

Sebenernya Gara tidak takut tentang Bundanya Dea nanti yang akan curiga dengan keadaan Dea karena Gara dapat dengan mudah mencari alasannya untuk meyakinkan Bunda Dea. Tapi, yang difikiran Gara saat ini adalah benar-benar kesehatan Dea.

"Gue bosen."

"Ada gue di sini. Gue bakal temenin lo."

Sejenak Dea diam, ini bukan keinginannya, tentu saja. Ia tahu jika ia tidak memungkinkan untuk meninggalkan rumah sakit dalam keadaannya seperti sekarang ini. Tapi banyak pertimbangan yang Dea fikirkan sampai membuat keputusan untuk segera pergi.

"Lo jangan khawatir lagi. Bunda gak ada di rumah."

Suara itu terdengar nyaring memasuki ruangan, memecahkan keheningan yang di ciptakan oleh Dea dan Gara.

"Lo kenapa gak bilang ke gue kalau lo di sini, hah?!"

"Isssh, sakit bang!"

"Lo mikir gak, sih? Punya otak apa enggak? Sakit gak bilang-bilang! Lo mau di coret dari kartu keluarga?"

Dea berdesis sebal, Deon datang-datang sudah mengoceh saja. Kalau seperti ini yang ada ia gagal pergi.

"Penyakit lo kambuh lagi."

Seketika ucapan dari Deon membuat Dea melemas, Dea sudah menduga hal ini akan terjadi lagi pada dirinya.

"Ya, gue rasa gitu."

"Aktivitas lo gue batas, makanan lo gue atur."

"Gak bisa gitu dong," Dea melotot tidak suka.

"Lo mau gue adu ke nyokap?"

Dea cemberut. "Pengadu."

Deon menghela napas tidak tega. Ini salah satu kelalaiannya yang sudah membiarkan Dea bertindak semaunya sampai penyakit yang diderita Dea kini kambuh kembali. Adiknya ini memang terlalu aktif sampai Deon menggelengkan kepalanya jika melihat Dea yang sudah pecicilan.

"Sore nanti ayah bakal ke sini."

"Lo bilang ke ayah?"

"Kalau gue gak bilang siapa yang bakal biayain lo? Berasa punya uang ?"

"Ya selow dong ngomongnya, udah tau gue sakit malah nge gas mulu."

***

"Aku hanya pergi tuk sementara, bukan tuk meninggalkanmu selamanya..."

Suara yang sangat pas-pasan itu sudah cukup lama bergema semenjak kedatangan seseorang yang sama sekali tidaj Dea harapkan untuk saat ini. Dea kira, ketika ia memutuskan untuk dirawat ia akan mengalami masa tenang dalam hidupnya dalam artian tidak terganggu oleh hal-hal yang menyebalkan diluaran sana. Tapi pupus sudah harapan Dea ketika beberapa jam yang lalu Lazuardi datang menjenguknya dan merecoki waktu istirahat Dea.

"Lo disini mau jagain gue atau mau ganggu ?"

"Jagain lo lah, terus apa lagi?" Jawab Lazuardi setelah menghentikan nyanyiannya sendiri.

"Gak usah berisik, telinga gue kasihan denger suara lo yang udah kaya tikus kejepit."

"Justru gue nyanyi itu biar bikin lo tidur tenang."

Dea memandang sebal. "Yang ada tidur selamanya." Dengusnya pelan lalu memiringkan badannya memunggungi Lazuardi.

Lazuardi tidak menyahut, ia memandang melas punggung Dea. Tetangga barunya ini memang bisa membuat dunia Lazuardi berubah. Banyak pengalaman baru yang ia dapatkan, dari hal yang tidak terduga sama sekali.

"Dea..."

Dea bergumam pelan sebagai balasan, belum tertidur sama sekali.

"Gue kira sekarang lo bisa anggap gue sebagai teman, tapi gue salah." Lantas Dea berbalik, heran mendengar ucapan Lazuardi yang seperti itu.

"Maksud lo?" Dengan kernyitan tidak mengerti.

"Lo sakit, tapi lo gak ngomong sama sekali. Andai Deon gak minta bantuan gue buat jagain lo sekarang mungkin sampai lo keluar dari rumah sakit gue gak akan tahu sama sekali."

Dea gelagatan sendiri, bukan bermaksud seperti itu. Dari awal bahkan Dea tidak ingin berdiam lama di tempat sekarang.

"Gue, gue sama sekali gak mau tinggal lebih lama di sini. Tapi Gara sama Deon maksa gue karena emang harus, gue gak bermaksud gak nganggap lo. Tapi jangankan lo awalnya Deon pun gak tahu kalau semalam gue di rawat."

Jelas Dea tidak ingin membuat Lazuardi berfikiran seperti tadi dengan tidak menganggap dirinya seorang teman. Untuk saat ini, Lazuardi adalah teman yang selalu menemaninya dengan baik dan perlakuannya yang menyenangkan. Mana mungkin Dea melupakan hal itu.

"Laz, sorry kalau gue gak ngasih tau lo. Tapi bener deh gue ga—"

"Udah deh. Jangan anggap serius, gue cuman bercanda ko. Santai Dea jangan tegang."

Dea membungkam mulutnya, hidungnya kembang kempis ternyata ia berhasil di kerjai.

"Sumpah, gue kira lo beneran baper sama gue karena gak ngasih tahu."

"Lo kali yang baper sampe ngejelasin panjang lebar." Lazuardi tertawa sendiri. Melihat wajah Dea yang sedikit kesal itu mampu membuat lelaki itu tertawa terbahak.

"Nyebelin tau gak?"

"Gak!"

"Ish, awas ya lo. Udah ah gue mau tidur, jangan ganggu." Perintah Dea dan kembali berbaring memunggungi Lazuardi.

"Apa yang kita kini telah rasakan, mengapa tak coba kita satukan,,,"

"Laz. Diem!"

"Tak bisa hatiku menafikkan cinta, karena cinta tersirat bukan tersurat,,,"

"Laaaaaazzzz!"

"Iya Dea iya." Kekehnya.

Tbc.

DeaLovaWhere stories live. Discover now