MULTIVERSE

2.3K 270 25
                                    

ACT ONE
The Tesseract

Walau lewat tengah malam, aku tetap memberanikan diri untuk keluar ke trotoar yang hening

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Walau lewat tengah malam, aku tetap memberanikan diri untuk keluar ke trotoar yang hening. Dalam hati aku berkata, demi nonton Marvel Movie Marathon, aku pulang larut. Demi kalian; Marvel Cinematic Universe! Lalu demi siapa lagi? Aku saja ogah pulang malam demi lembur (untuk readers yang gawe)/mengejar deadline tugas (untuk readers yang kuliah/sekolah).

Bioskop dekat rumahku namanya Infinity Cinemas. Berbeda dari merk bioskop yang namanya pakai angka romawi *sensor*, ia adalah bioskop independen. Jika bioskop yang kita tahu memutar film-film yang hype saja atau baru dirilis, maka bioskop ini menayangkan koleksi film yang diatur seenak jidat pemiliknya. Misalnya, kalau sedang musim liburan kenaikan kelas, Infinity Cinemas akan menayangkan Petualangan Sherina (astaga). Kalau sedang libur Natal, bioskop akan menayangkan rom-com bertema Natal. Kalau pemiliknya sedang bergairah, akan ada midnight show yang menayangkan Fifty Shades Series (ssh, jangan bilang ke anak-anak).

Nah, bagaimana bisa bioskop ini menayangkan seluruh film Marvel - bahkan film yang diproduksi di tahun 80-90an? Itu salah satu upaya untuk menarik perhatian calon penonton setelah Infinity War tayang sembilan bulan lalu, dan karena banyak orang yang menyukai film keluaran Marvel! Bioskop ini sudah berdiri lebih dari satu tahun, namun tetap saja sepi pengunjung.

Kurasa aku tahu mengapa. Pemiliknya membeli tanah bekas TKP pesta narkoba yang diratakan oleh satpol PP beberapa tahun lalu. Oleh warga masih dianggap tempat maksiat - bahkan setelah bioskop itu berdiri! - jadilah desas-desus bodoh tak berdasar yang beredar di platform gosip tercepat di pemukiman, yaitu melalui tukang sayur dan meja catur. Ibu-ibu menggosipkan kasus apa saja yang pernah terjadi sebelum bioskop itu berdiri, dan bapak-bapak bertaruh di meja catur, siapa yang berhasil menggaet kupu-kupu malam dekat bioskop.

Aku sih, tak ambil pusing dengan omongan mereka. Yang penting bisa nonton film-film bagus dengan harga terjangkau, lagi!

Kutengok kanan kiri, memastikan tidak ada copet, jambret atau begal tete. Syukurlah tidak ada orang di jalan. Aku lebih lega begitu. Jika ada dua-tiga orang yang ada di jalan, akan sulit memastikan apakah mereka orang baik yang numpang lewat atau orang jahil yang ngebut naik motor dengan tangan jelalatan mencari payudara yang bisa disentuh sembarangan. Belakangan ini orang-orang aneh menjadikan aksi begal payudara sebagai karir, tindakan yang jelas-jelas membuat Kak Seto murka.

Kumasukkan tangan kiriku ke saku jaket, yang berisi tiket nonton Iron Man 3 dan kupegang erat-erat. Movie Marathon akan berakhir seminggu lagi, dan-

Meong!

Aku menunduk, mendapati seekor kucing hitam dengan sepasang mata yang unik. Bagaimana tidak? Mata kanannya berwarna biru cerah dan mata kirinya berwarna hijau. Sepasang mata itu seolah menghipnotisku untuk berjongkok dan mengelus-ngelus puncak kepalanya.

Sepertinya semua mata kucing punya tatapan menghipnotis yang sama.

Kucing ini lumayan langsing, namun masih punya daging sehingga tidak bisa disebut terlalu kurus. Aku bisa merasakan kucing itu menggeram lembut dalam telapak tanganku, dan aku semakin giat mengusap bulunya.

"Pus, pus, apa kamu tersesat?" Tanyamu pada kucing itu.

Kucing hitam itu mengeong sebagai jawaban, dan ia mendadak menjauh dari telapak tanganku. Ketika aku berjalan menjauh, kukira ia mengikutiku. Aku berhenti berjalan untuk melihat reaksinya, dan kucing itu juga diam.

"Aneh," kataku keras-keras. "Apa maumu?"

Kucing itu tidak menjawab, tentu saja. Namun ia berjalan beberapa meter ke arah yang berlawanan dengan jalanmu pulang, kemudian berhenti lagi.

"Kutebak kau mau aku mengikutimu?" Aku bertanya padanya.

Entah mengapa aku merasa kucing itu memberikan anggukan kecil. Kecil, namun aku tetap saja merasakannya. Mendadak aku merinding karena ini juga malam Jumat. Mungkin saja kan, kucing ini kucing jadi-jadian.

Aku berjalan mendekati ekornya. Lalu kucing itu berjalan sedikit dan berhenti. Aku mengikutinya. Ia melakukannya terus menerus hingga kucing itu membawaku ke depan gang yang agak gelap.

"Oke..." gumamku sambil menunduk menatap mata kucing itu yang bersinar-sinar. "Buktikan kalau pemilikmu bukan bandar organ dalam yang berniat menculikku."

Kucing itu diam, dan aku merasa bodoh berprasangka buruk dengan kucing.

Mendadak ia berlari makin dalam ke gang itu, mengeong-ngeong dengan keras. Lalu kulihat seberkas cahaya biru yang bergerak-gerak, namun terlalu terang hingga membuatku agak silau.

Tanpa berpikir, aku segera berlari ke arah yang sama dengan si kucing. "Pus! Apa kau baik-baik saja? Kau dimana?"

Aku terus memanggil-manggilnya sampai langkahku membawaku lebih dekat ke sumber cahaya. Awalnya sinar itu luar biasa menyilaukan seperti ketika aku menatap langsung ke arah matahari, dan ketika aku mendekat, intensitas cahaya biru itu seolah mengerucut. Tidak meredup, namun tidak terlalu silau.

Baru saat itu aku menengadah dan sadar dimana aku berada. Sebuah pintu dengan plang INFINITY BACKDOOR muncul diterangi cahaya biru itu. Si kucing telah entah kemana perginya.

Sebelum aku sempat berbalik, cahaya itu sempat diam sebentar, lalu mekar kebiruan. Apakah itu ledakan? Tubuhku terlontar jauh ke depan, membuat pandanganku buta karena terlalu banyak cahaya.

Kucing sialan, itu pikiran sadarku yang terakhir. Mendadak kepalaku terasa berat untuk beberapa saat, namun aku bisa menahannya.

Kedua mataku membuka perlahan, dan walaupun jelas cahaya yang kutatap bukanlah cahaya matahari, namun aku tetap nekat membuka mata. Sial, sudah jam berapa ini? Nanti tetangga akan mulai bergosip tentang kepulanganmu yang terlalu larut sebagai cewek lajang-

"Angkat tanganmu dimana aku bisa melihatnya!"

Seseorang membentak. Itu bukan polisi. Aku mengenali suaranya. Aku terlalu mengenali suara ikonik itu!

"Namaku (Y/n) (Y/l/n) dan aku..." aku berkata sambil menengadahkan kepala.

Di depan mukaku ada sebuah tangan. Dengan cahaya di tengah-tengahnya. Lalu tatapanku fokus pada sang empunya tangan.

"Tony, ia terlihat masih sangat muda," ujar seorang wanita. Kau menoleh dan melihat wanita berambut merah.

Romanoff. Natasha Romanoff.

Lalu aku menatap ke sekeliling sambil berusaha bangkit berdiri.

Ada seorang pria yang mengarahkan panahnya padaku.

Ada laki-laki kekar yang mengangkat palunya.

Pria hijau besar tak berpakaian.

Dan pria berseragam norak yang memegang perisai berwarna sama noraknya.

"Tidak mungkin..." gumamku. "Apakah ini mimpi? Mimpi baik atau buruk?"

"Baik atau buruknya tergantung siapa kau," ujar Clint.

Enam orang ini...

The Avengers?

 assembled; avengers one-shotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang