benedict cumberbatch - pulang kerja

1.7K 126 26
                                    

Jaguar yang anteng terpakir di garasi depan adalah hal pertama yang menyambutku selepas pulang kerja. Hal kedua yang menyambutku adalah pintu yang terbuka, dengan Benedict Cumberbatch telah menunggu di baliknya. "Maaf aku telat. Atasanku tiba-tiba mengadakan rapat," kataku malu-malu seraya melepas sepatu berhak tinggi yang berhasil menyiksa urat-uratku.

"Tidak apa-apa. Aku juga baru pulang," jawab Benedict Cumberbatch dan kami bertukar kecup di pipi sekilas. Malam ini kami telah sepakat untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami.

Kuletakkan tas tanganku dan meraih handuk dari tiang jemuran sambil bertanya, "Kamu mau makan apa hari ini? Kita masih punya udang di kulkas, jagung muda-"

Benedict Cumberbatch terlihat menimbang-nimbang dengan serius, dan aku menoleh untuk menikmati ekspresinya yang semakin mirip karakter detektif Inggris yang dimainkannya bertahun-tahun silam. "Bagaimana kalau kita makan di luar saja? Aku sedang ingin masakan Padang, apalagi buatan rumah makan Bu Saritem. Entah mengapa, hari ini bawaanku ingin makan makanan yang pedas saja."

"Kalau aku tidak mau?"

"Aku datang untuk menawar," jawab Benedict Cumberbatch dengan nada Dr. Strange yang serius, dan kami sama-sama tertawa. Itu adalah salah satu lelucon pribadi favorit kami diantara lelucon-lelucon pribadi lainnya.

"Sudahlah, kita makan lalapan saja. Masakan Padang terlalu pedas dan aku ragu kau bakal kuat," kataku. "Ngomong-ngomong, kita mampir ke Pasar Kranji, bisa?" Aku bertanya sambil melenggang ke dalam kamar mandi. "Ada bahan masakan yang perlu kubeli."

Benedict Cumberbatch mengangguk dan mengikuti langkahku hingga ke muka pintu. Ketika aku hendak menutup pintu kamar mandi, tangannya terangkat untuk menahan ayunan pintu.

Aku menatapnya dengan pandangan bertanya. "Kenapa?"

"Boleh aku ikut?" Benedict Cumberbatch mengerling ke arah bak mandi mengkilat bagai porselen yang belum kuisi dengan air. Aku hanya terkikik karena ajakannya yang tidak diduga-duga - mungkin karena malam ini adalah hari jadi pernikahan kami, jadi ada satu dua faktor pemanis untuk menjadikan hari ini lebih istimewa - dan justru mendorong dadanya menjauh dengan jari telunjukku (walau aku bisa saja menarik tangannya dan menyeretnya bersamaku ke dalam bak mandi yang mengkilat bagai porselen itu). "Jangan nakal," ucapku sebelum menutup pintu. Ia hanya terkekeh saja menerima penolakanku.

Tak lama kemudian, aku sudah siap di ambang pintu rumah dengan rambut basah yang habis dikeramas. Kuamati Benedict Cumberbatch yang baru selesai berpakaian dan sedang mencari-cari kunci. Ia mengenakan celana jins yang kutahu belum dicuci selama empat hari terakhir dan kaos kusut bergambar partai A yang berwarna hijau muda.

Benedict Cumberbatch selalu bilang kalau ia tidak peduli dengan partai A ("Janji-janji yang ditawarkan terlalu manis dan aku tidak terlalu suka yang manis-manis") dan hanya suka dengan pilihan bahan yang digunakan partai A ("Lihat? Kaos ini menyerap keringat begitu baik, lebih baik daripada kaos-kaos yang terpasang di etalase Polo Ralph Lauren").

Namun, seberapa jelek kaosnya atau partainya, Benedict Cumberbatch membuat kaos itu terlihat sempurna. Aku tidak heran dan tidak perlu heran; Benedict Cumberbatch adalah kesempurnaan itu sendiri. Kalau saja ada ada ukuran angka untuk mengukur kesempurnaan. Berhubung tiada hal semacam itu di muka bumi, menurutku Benedict Cumberbatch sama sempurnanya dengan panorama Pantai Parangtritis dan peta bintang gemintang. Aku mampu dan aku betah menatap kesempurnaan itu berlama-lama. Wajahnya yang teduh acap mengingatkanku pada mercusuar terpencil di tepi pantai yang jarang tersentuh manusia, yang anehnya selalu membuatku tahu kemana aku harus pulang.

"Memang bensinnya ada?" Tanyaku sambil menunjuk Vespa merah keluaran Orba yang dibeli setengah harga oleh seorang teman sebagai hadiah pernikahan. Benedict Cumberbatch tampaknya bersemangat sekali ingin mengendarai motor itu lagi. "Baru kuisi tadi siang, tenang saja!" Katanya dan mengoper helm bulat berlogo SNI dan mengenakan helm bulat berlogo sama.

Kupandangi tubuh jangkung dan tegap Benedict Cumberbatch yang sedang mengeluarkan Vespa itu dari dalam garasi. Ia semakin hari semakin berotot saja karena keharusan dalam peran pahlawan super yang dijalaninya. Kemarin malam, ia bergurau kalau ia mampu melemparkanku ke kandelir hanya dengan persendiannya.

Beberapa menit berselang, kami telah menyusuri Jalan Bintara Raya yang masih ramai-lancar. Situasi ramai itulah yang seringkali mengundang pandangan kaget dari sesama pengendara motor atau hanya kerutan dalam dari dahi ibu-ibu yang belok kiri tapi sen mengedip-ngedip genit ke kanan. Di satu waktu aku bisa mendengar celotehan mereka yang terkejut atau bisik-bisik kentara antara supir angkot dengan penumpangnya. "Itu orang bule, lho!" Kata seorang pria pada wanita muda berkuncir satu yang duduk di boncengannya. "Sepertinya pernah lihat di layar tancep," komentar seorang koko-koko penjaga konter pulsa yang berada tak jauh dari tempat Vespa kami berhenti karena macet. Dengan sadar, aku berusaha keras menahan diri untuk menjawab, "Iya, ini Benedict Cumberbatch," kataku sambil tersenyum. "Yang main di film-film itu."

Ketika kami sudah terbebas dari macetnya pertigaan Bansepco, Benedict Cumberbatch berkata, "Nanti kita beli kue pukis sekalian, yuk."

"Lho, tumben," aku mengernyit.

Benedict Cumberbatch menambahkan, "Nanti kita makan satu atau dua bungkus di Flyover Summarecon saja."

"Kamu ngaco, ya? Tidak ada lagi yang boleh malam mingguan di flyover itu. Sudah ada satpam yang jagain tempat itu."

"Kalau begitu, kita makan di tempat tidur saja."

Aku tertawa mendengar ia tertawa seraya memukulkan tinjuku pada punggungnya dengan sayang. "Ben!"

 assembled; avengers one-shotWhere stories live. Discover now