bucky barnes - a commuter ride

1.4K 146 33
                                    

note: cerita ini bukan sekuel a transjakarta date ya, hehe. cerita ini akan jadi angst favoritku (dan ada kelanjutannya). tenang aja, ges.

***

Laki-laki itu selalu turun di Stasiun Jatinegara.

Biasanya ia berdiri di ujung gerbong kelima atau keenam, dekat bangku prioritas. Kalau seorang nenek masuk ke gerbong, ia akan jadi orang pertama yang berdiri dan memberi bangkunya untuk si nenek. Lelaki itu akan menaikkan barang-barang seorang pria paruh baya ke tempat penyimpanan barang, dan tak lupa menurunkannya jika bapak itu sudah tiba di stasiun tujuan. Terkadang jika ada seorang ibu yang membawa anak-anaknya, lelaki itu akan menawarkan bangkunya dan bercanda dengan anak-anak. Jika kereta sedang sepi, lelaki itu akan bersenandung pelan mengikuti lagu yang didengarnya dengan earphone. Ia selalu mengenakan jaket yang terlihat kebesaran, dan entah mengapa dalam beberapa kesempatan, salah satu lengannya terlihat lebih besar daripada yang satunya.

Sekarang pukul sepuluh malam. Kereta dari arah Jakarta masih ramai penggunanya, namun suasana agak lengang. Kali ini, aku kebetulan berdiri di sebelah lelaki itu.

Ia mendengarkan lagu lewat earphone, sesuatu yang ia lakukan jika tidak ada pria tua atau nenek yang perlu dibantu. Sayup-sayup kudengarkan ia menyenandungkan sebaris lirik lagu yang belum pernah kudengar sebelumnya.

"Misi, mbak." Sebuah suara memanggil dari belakang. Aku menoleh untuk melihat seorang OB berusaha menyapu lantai yang ramai. "Eh, iya," aku berkata.

"Misi, mas," OB itu berkata kepada lelaki di sebelahku. Ia menoleh dan mencopot earphone dari telinganya. "Hah?" Ia bertanya.

"Misi," OB itu berkata lagi dan menyodok sedikit sepatu pria itu dengan sapu. "Eh, maaf," pria itu berkata pelan dan mengambil satu langkah lebih dekat denganku.

Aku dan dia bersitatap untuk beberapa detik.

Aku tersenyum kecil dengan usaha yang canggung. Hanya itu yang bisa kulakukan.

Lelaki itu juga tersenyum. Iris matanya berbinar ramah.

Kereta berhenti di Jatinegara. Ia mengangguk padaku seolah berpamitan, sebelum ia keluar dari gerbong. Dari balik jendela, aku menontonnya berjalan ke arah pintu keluar.

Kereta kemudian melaju lurus. Tapi senyum ramahnya terbayang terus.

***

Kereta sesak sekali malam ini, walau sudah pukul setengah sebelas.

Seorang petugas keamanan dengan label nama Bayu mendekati seorang penumpang wanita muda yang menduduki kursi prioritas. Dari tempatku berdiri, aku mengamati petugas yang sedang menegur wanita itu untuk memberikan kursinya kepada seorang kakek. Petugas bertubuh ceking itu tampak kewalahan berusaha menjelaskan pada wanita itu. "Mbak, tolong ya kursinya untuk kakek ini saja," kata petugas itu.

"Enggak, mas, cari tempat lain aja," kata wanita itu. Padahal kursi prioritas di seberang dan di sebelahnya diisi seorang ibu hamil dan dua nenek-nenek.

"Mbak, kan masih muda," kataku yang berdiri di sebelahnya. "Berdiri aja, bisa, kan?"

"Lah, tapi saya kan perempuan!" Wanita karir itu berkilah. "Perempuan harus diprioritaskan dong!"

Aku memandangnya dengan tatapan anjir-otakmu-dimana? "Saya juga perempuan tapi berdiri, banyak disini penumpang perempuan yang berdiri!" Aku mengernyit. "Nggak kasian apa sama kakek ini?!"

Asyik, aku suka keributan. Suasananya makin panas dan aku harus—

"Duduk di sini aja," sebuah suara berkata. Ketika aku menoleh, tahu-tahu kakek itu sudah duduk... dan Lelaki Jatinegara itu melangkah ke sampingku. "Kalau ditegur petugas, dengarkan dia, ya!" Kata pria itu pada si wanita karir superior. Wajah wanita itu memerah, mungkin malu ditegur oleh pria tampan yang tidak dikenalnya. Lantas pria itu memberiku isyarat untuk pergi menjauh.

Anehnya, aku menurut.

Beberapa langkah agak jauh dari lokasi keributan, aku menatap pria itu. "Terima kasih ya," ucapku pelan.

"Aku seharusnya memberi kursi itu lebih awal," pria itu menjawab. "Tadi aku lagi mendengarkan lagu."

"Tetap saja. Kamu sudah memberinya kursi," kataku dan menunjuk kakek itu dengan dagu.

"Ah, bukan apa-apa," pria itu menunduk malu.

"Mungkin buatmu bukan apa-apa, tapi itu heroik untuk orang yang kamu beri kursi," kataku dan tersenyum lagi. Canggung.

Dia kelihatan tersipu.

"Aku (Y/n)," kataku dan mengulurkan tangan.

"Bucky," ia menjabat tanganku singkat.

Kereta mengerem berhenti dan kami menyaksikan wanita karir itu akhirnya turun di Stasiun Sudirman, bersama dengan banyak penumpang lain. "Kamu kerja di Jakarta, ya?" Iseng aku bertanya.

Ia menggeleng. "Tidak. Hanya liburan. Tapi aku menginap di daerah Matraman," ia berkata.

"Kenapa tidak naik Transjakarta saja?" Aku mengernyit.

"Aku tidak paham rutenya. Aku punya seorang teman... dia sering berjalan-jalan dengan sahabatnya memakai Transjakarta. Aku jadi tidak enak mau bertanya jalan terus." Bucky menyentuh tengkuknya dengan kaku.

"Tapi kamu paham naik commuterline."

"Iya. Commuterline lebih praktis soalnya. Kalau kamu bekerja di Jakarta, ya?" Bucky bertanya.

Aku menggeleng. "Berobat," kataku pelan.

Alis Bucky mengernyit. "Kamu tidak terlihat sakit," ia berkomentar.

"Puji Tuhan, kalau begitu," kataku.

"Memang tidak ada rumah sakit di dekat rumah?" Ia bertanya lagi.

Aku menggeleng. "Aku harus dirujuk ke Dharmais," aku menjelaskan. Menilai dari ekspresi wajahnya, Bucky tidak tahu apapun tentang Dharmais.

Bucky hanya mengangguk pelan dan ia membicarakan tentang apa bedanya masakan Minang dan masakan Padang yang perlu kujelaskan pelan-pelan (seorang ibu melotot ke arah kami ketika Bucky menanyakan hal itu. Pasti ia berasal dari daerah Sumatera, hehe).

Pengeras suara mengumumkan kalau kami akan tiba di Stasiun Jatinegara. Kereta pun melambatkan lajunya pelan-pelan.

"Kuharap kita bertemu lebih awal," kata Bucky kemudian. "Aku harus turun. Jatinegara."

"Kuharap juga begitu. Aku senang mengobrol denganmu," sahutku riang.

Bucky meraih tanganku dan meremasnya sebentar. "Sampai ketemu lagi," ia berpamitan dan tersenyum.

"Hati-hati di jalan," aku melambaikan tangan ketika Bucky melangkah keluar.

Sudah lama ada laki-laki yang ingin benar-benar bertemu denganku lagi.

***

"Ada apa, Dokter Stefan?"

"Sudah dua bulan sejak kamu kontrol terakhir, ya?"

"Iya, nih. Rekor baru."

"Ada yang perlu ditangani tidak? Biasanya kamu dan ibu kamu cerewet soal kontrol."

"Sampai saat ini, tidak ada."

"Berarti aku benar. Kamu sudah membaik. Tidak ada sel kanker yang bertumbuh selama beberapa bulan terakhir," katanya sumringah. "Kamu kesini lagi besok, ya."

Telepon ditutup. Baru kali ini aku merasa senang ingin naik commuterline lagi.

 assembled; avengers one-shotWhere stories live. Discover now