steve rogers - perihal mengucapkan selamat tinggal [contains spoiler]

2.1K 268 32
                                    

a/n: mengandung spoiler endgame.

***

Aku adalah orang terakhir yang Steve nasehati sebelum ia mengembalikan keenam batu pada tempatnya. Steve memelukku singkat sebelum ia berkata, "Aku hanya pergi mengembalikan batu-batu ini sebentar, jangan nakal ke Bucky, oke?"

"Hmm," kataku sambil melepas pelukan kami.

"Cuma 'Hmm'?" Kata Steve dan ia menaikkan alisnya. "Ayolah, (Y/n), sejak kita berkencan, aku paham arti diammu."

"Entahlah, Steve..." aku mengangkat bahu.

Dari belakang tubuh Steve, Bruce berkata, "Selama apapun ia pergi, Steve akan kembali dalam lima detik, (Y/n). Takkan lebih lama."

"Kamu berpikir begitu?" Kataku dengan nada bertanya.

"Kamu merasa ragu," kata Steve tanpa tedeng aling-aling.

Ya, Steve. Tentu saja aku merasa ragu.

"Aku merasakan sesuatu. Maksudku, wanita punya hal-hal semacam ini, untuk merasakan lebih..." aku tidak meneruskan ucapanku.

"Lanjutkan," kata Rhodey.

Kutatap Steve dengan lembut dan berkata, "Bagiku, kamu terdengar sedang mengucapkan selamat tinggal."

"Ini bukan perpisahan," kata Steve.

"How would you know?" Kataku dan memeluk tubuhku sendiri.

"Karena aku akan kembali," kata Steve dan melangkah menjauh.

"Kamu harus kembali," kataku menegaskan. "Hari ini hari jadi kita yang kelima."

"Aku akan kembali sebelum makan malam," Steve tersenyum, namun entah mengapa perutku merasa terlilit. Dengan perasaan cemas aku membalas senyumnya.

Bruce menghitung mundur. Tiga, dua, satu.

Steve sudah tidak ada.

***

Lima Tahun Sebelumnya

"Hai semua, namaku (Y/n) (Y/l/n). Aku  menemukan tempat ini dari sebuah siaran radio," kataku perlahan.

Semuanya membalas dengan sapaan ramah yang pelan, "Hai, (Y/n)" tak terkecuali pemimpin grup dukungan ini, Steve Rogers.

"Aku seharusnya dideportasi sebulan lalu ke negara asalku sebelum semua orang tiba-tiba menjadi debu," kataku melanjutkan.

Seorang wanita paruh baya berambut merah yang kukenal sebagai Lana bertanya, "Untuk apa kau pergi ke Amerika, kalau boleh tahu?"

"Berlibur. Awalnya hanya itu saja rencanaku, yang kemudian mengubahku jadi warga negara tetap disini. Ibuku sudah melarangku untuk pergi sendiri, namun..."

"Kau keras kepala," kata pria tua  yang mengecat hitam rambutnya.

Dengan usaha ekstra, kutahan keinginanku untuk tidak menangis. "Sifatku begitu sejak aku lahir, dan lihat kemana itu membawaku sekarang. Aku bahkan tidak tahu apakah keluargaku masih hidup di luar sana, aku sekarang sendirian dan..."

Aku masih menggumamkan hal yang tidak jelas, namun aku sadar kalau aku sudah menangis. Tidak ada yang melarang atau menghentikanku menangis, jadi kulakukan saja. "Aku tidak terlalu b-bisa mengucapkan s-selamat tinggal," aku berkata.

"(Y/n)?" aku mendengar suara Steve Rogers memanggil, namun kuabaikan saja. "(Y/n), bisa kau tatap aku?"

"Tidak m-mau. Tampangku jelek kalau menangis," aku berkata keras-keras, yang menimbulkan seseorang terdengar menahan tawa.

"Tampangku juga lama-lama jelek kalau kau terus-terusan menangis." Entah kapan Steve Rogers mulai mengusap-usap ujung kepalaku. Bodohnya, aku masih saja menangis dengan seru. "Tapi akan kuberitahu sesuatu." ia menambahkan.

"Hmm?"

"Kalau aku mau menemanimu minum kopi setelah sesi ini, apakah tampangmu akan membaik?" ia berbisik di telingaku.

*** 

Sam dan Bucky menunjuk ke sebuah kursi yang dekat dengan danau, dan aku tak perlu memandang lebih lama untuk memastikan siapa yang duduk di sana. Bucky menyuruh Sam untuk bicara dengannya lebih dulu dan ia membawaku beberapa langkah agak jauh dari Sam.

"Bucky, aku tidak mau menemuinya," aku berbisik.

"Tentu saja kau harus," Bucky mengernyit mendengar pernyataanku. "Mengapa kau tidak mau?"

"Karena seharusnya tidak seperti ini," aku menggumam. "seharusnya akhirnya bukan seperti ini."

"Tapi itu akhir yang kau inginkan. Steve mungkin saja menginginkan akhir yang berbeda dalam perjalanan waktunya," kata Bucky. 

Kami sama-sama diam menyaksikan Sam mengangkat perisai Steve, dan ekspresi Sam setelah mengenakan benda itu. "Kuatkan dirimu, (Y/n)," kata Bucky, tangannya meremas bahuku ketika Sam mundur.

Aku melangkah mendekati Steve, dan akhirnya kuputuskan untuk duduk di sebelahnya. Bahkan dalam masa senjanya, Steve terlihat segar dan bahagia. Aku bisa melihat cincin emas yang melingkar di jari manisnya. Jadi, ia memutuskan untuk menikah. Itulah yang membuatnya kembali begitu lama.

"Hal pertama yang ingin kuucapkan ialah," aku menatapnya lurus-lurus dan berkata, "aku tidak bisa berkencan dengan kakek-kakek. Itu akan membuatku terlihat seperti wanita tidak bermoral yang suka mencari sugar daddy."

Steve tertawa. Bahkan dalam usia tuanya, aku masih mampu membuatnya tertawa. "Mendekatlah," katanya dan menggenggam lenganku. Maka itulah yang kulakukan; aku merangkul lengannya dan bergeser lebih dekat. 

"Aku bisa menjelaskan semuanya padamu," katanya dan menatap cincin kawinnya.

"Tidak perlu," aku berusaha untuk tersenyum. "Aku menolak penjelasan apapun darimu." karena aku tahu dengan siapa ia menikah. Sudah kubilang, wanita punya hal-hal khusus tentang hal ini. "Lucu, karena Sam ingin tahu sedangkan kamu tidak," kata Steve.

"Itu tidak lucu. Aku bahkan tidak tertawa."

Steve menatapku dan aku balas menatapnya, tak mampu berkata-kata. "Steve, kita ada di mana?" aku bertanya.

Steve menatap ke sekeliling dan mengangkat bahu. "Taman belakang fasilitas Avengers?" ia menjawab.

Aku tersenyum kecil dan menggeleng. "Bukan, Steve. Kita ada di mana?" aku mengulang pertanyaanku kembali.

Steve mendesah. "Entahlah," katanya akhirnya. "Aku tidak tahu."

"Aku juga tidak tahu," kataku dan berusaha tersenyum kuat. "Tapi aku akan selalu mencintaimu."

"Aku akan selalu mencintaimu, juga." Steve tersenyum dan itu membuatku terkejut. 

Kusenderkan kepalaku di bahunya, dan ia tidak keberatan. "Apakah ia bahagia?" aku bertanya.

"Sangat bahagia," ia menjawab.

"Wanita yang beruntung," aku menggumam. "Kalian berdua beruntung."

Lihat? Aku sangat buruk dalam hal mengucapkan selamat tinggal. 

 assembled; avengers one-shotWo Geschichten leben. Entdecke jetzt