Bab 2 - Anisa

218 28 9
                                    

Menjadi anak perempuan tidak membuatku menjadi manja. Sejak kecil aku dididik untuk bisa mandiri. Apalagi di usiaku yang baru dua tahun, aku dikaruniai seorang adik perempuan yang lucu.

Terbiasa melakukan semua sendiri serta membantu ayah dan ibu memupuk jiwa figthing yang kuat dalam diriku. Hingga di usiaku yang baru beranjak 26 tahun, aku sudah mempunyai usaha sendiri. Sebuah minimarket yang kumulai dari nol.

"Dita, jangan taruh barang yang masuk duluan di depan, sesuaikan dengan tanggal masuk, atau cek tanggal expired-nya. Yang baru masuk, taruh di bagian belakang," instrusiku pada salah satu karyawan bagian display.

"Iya, Mbak," jawabnya singkat.

"Agung sudah datang, belum?"

"Belum kayaknya, Mbak. Baru juga jam delapan," katanya sambil menengok jam tangannya.

"Memangnya, dia biasa datang jam berapa?" tanyaku heran.

"Ya, akhir-akhir ini sering terlambat, Mbak. Kadang lebih lima belas menit, kadang malah jam setengah sembilan baru datang," jawabnya sambil tertawa kecil.

"Ish. Kok, gitu?" Kudengar Dita cekikikan mendengar komentarku.

"Mungkin, nganter calon pacarnya dulu," ujar Dita masih cekikikan.

"Baru juga calon pacar," gerutuku lantas beranjak ke ruanganku, "Dit, kalau Agung datang suruh lapor aku." Dita mengangguk.

Aku pun masuk ke ruanganku. Bukan ruang besar ber-AC dengan meja mewah dan kursi empuk yang bisa berputar. Hanya sebuah ruang tersekat ukuran 2x3 meter dengan kipas blower di atas pintu. Meja itu pun nampak penuh, dengan adanya komputer dan printer di atasnya.

Aku mulai mengecek laporan penjualan kemarin. Pekerjaan ini sudah seperti darah yang mengalir dalam tubuhku. Bila terlambat dicek dan dibersihkan, maka darah kotor akan menumpuk dan menyumbat aliran darah yang sehat.

Eh, ngomong-ngomong soal darah, hari ini jadwalku harus mengantar ayah check up ke Rumah Sakit. Karena itu aku hendak meminta Agung menggantikanku menyelesaikan laporan.

Aku segera mengemasi nota-nota dan data item barang setelah menyelesaikan input item. Masih ada waktu setengah jam lagi.

Aku memanggil Agung untuk melanjutkan pekerjaan saat kutinggalkan untuk mengantar ayah.

"Data yang ini, inputnya di sini. Yang ini inputnya di sini," instruksiku pada Agung.

"Siap, Mbak. Untuk setoran, nanti habis istirahat saja, ya? Jam segini, tellernya masih antri," katanya padaku.

"Terserah. Selesaikan dulu tagihan supplier. Nanti sisanya baru setor ke bank."

"Oke."

"Aku tinggal dulu, ya."

"Ya, Mbak. Hati-hati."

Aku pun melangkah meninggalkannya, tapi belum sampai pintu aku memutar tubuh lalu menatapnya tajam.

"Satu lagi. Jangan datang terlambat terus, jadi contoh jelek buat karyawan lain," kataku sambil bersedekap.

"Iya, Mbak. Maaf," jawabnya memelas.

"Jangan pacaran aja. Kalau dah siap, nikah sana."

"Siap, Mbak!" teriaknya semangat. Aku hanya menggelengkan kepala lantas berlalu.

Melewati beberapa karyawan yang sedang menata display dan petugas kasir yang melayani pembeli.

🌸🌸🌸🌸

Aku mengambil nomor antrian setelah mengantar ayah duduk di bangku ruang tunggu.

"Astaghfirullah." Tak sengaja aku menabrak seorang dokter yang melintas di depanku.

Dua Hati [Complete]Where stories live. Discover now