Bab 30

132 20 0
                                    

Gadis itu terlihat limbung. Mataku pun mulai berkaca, bersiap meloloskan air yang mulai berdesakan di ujungnya.

"Ma." Terdengar suaranya lirih memanggil mama. Papa mendekat dan menuntunnya duduk di sebelah mama.

"Adek ...." Kudengar papa mulai menjelaskan situasi saat ini padanya. Tanpa kusadari air mata yang membasahi pipiku semakin menderas. Tanpa kusadari juga, mas Bram memelukku. Ah, sialan cowok ganteng ini, bisa aja curi-curi kesempatan dalam kesempitan. Tapi entah kenapa aku masih bertahan di sini.

"Adek!!" Tiba-tiba tubuh Dini merosot ke lantai. Mas Bram dan papa segera berlari mendekat dan menggendongnya.

"Disini saja Mas." Aku membuka pintu kamarku. Panik dan bingung membuat aku jadi salah tingkah.

"Minyak kayu putih," gumamku dalam kepanikan. Aku membongkar kotak obat-obatan di atas meja riasku dengan gemetar. Airmata masih terus meluncur tanpa bisa kutahan lagi.

"Nis." Mas Bram meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku semakin tergugu. Ya Allah, kenapa semua bisa jadi begini?

"Tenang, Nis. Semua akan baik-baik saja. Mungkin Dini hanya kecapekan. Sini, biar aku saja yang kasih minyak kayu putihnya."

Mas Bram melanjutkan mencari minyak kayu putih yang dengan cepat ditemukannya. Kenapa tadi aku tak melihat benda itu di sana ya? Ah, kacau.

"Anis." Ayah menghampiriku yang tengah duduk di depan meja riasku sambil menatap gadis kecilku terbaring di tempat tidurku.

"Ayah. Itu Syifa," kataku lirih. Kurasakan tangan ayah mengelus lembut punggungku. Kupeluk ayah dan menumpahkan segala tangisku di hangatnya.

"Iya, Sayang. Syifa. Itu Syifa. Kita sudah menemukannya." Ayah juga tergugu bersamaku.

"Maaf. Mungkin kita bisa tunggu saja di luar, kasihan Dini kalau nanti dia bangun dan di sini banyak orang." Mas Bram berusaha menghalangi beberapa anggota keluarga yang ingin ikut masuk ke kamarku.

Aku tersentak. Aku lupa kalau saat ini sebagian keluarga besar kami sedang berkumpul disini.

"Ayah. Kita keluar ya?" Aku mengurai pelukan ayah. Kuhapus airmataku dan airmata ayah. Kucoba memberi senyuman kekuatan pada lelaki tangguh di depanku ini. Ayah mengangguk singkat lalu beranjak mendahuluiku.

Mas Bram tersenyum melihatku.

"Mas. Tolong ajak keluar semuanya. Biar aku temani Dini dulu." Mas Bram mengangguk lalu menggiring mama dan papa meninggalkan kami.

Dari tepi ranjangku. Kutatap wajah mungil yang sudah terlihat dewasa ini. Kuraba kembali ingatanku, mencoba menangkap bayang Syifa di masa lalu. Merangkai puzzle wajahnya yang mungkin akan menemui benang merah waktu yang telah hilang diantara kami.

Syifa. Dini. Aku menghela napas pelan. Kupijit kakinya pelan. Dingin. Kuhantarkan hangat di tanganku ke kakinya. Semoga bisa mencapai hatinya. Maafkan kakak, Sayang.

Kurasakan pergerakan di kakinya. Alhamdulillah, akhirnya dia membuka mata. Kulempar senyum semanis mungkin.

"Hai," sapaku kikuk.

"Hei." Dia mencoba duduk.

"Jangan duduk dulu. Aku panggil Mama dulu ya?" Dia tersenyum dan mengangguk singkat.

Aku bergegas keluar memanggil mama, tapi papa dan mas Bram juga ikut berdiri dan mengikuti langkah kami ke kamar.

Setelah melihat mereka berpelukan kembali, aku memutuskan untuk keluar kamar. Aku ingin mengambil teh hangat untuk adikku. Ah, kenapa ada rasa bahagia ketika aku menyebut 'adikku'. Tanpa sadar senyumku terkembang.

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang