Bab 26

126 17 0
                                    


Tolong votenya yaa... Tularkan semangat kalian pada kami...

😘😘😘😘

# # # #

"Anis! Kamu kemana saja, sih.?" Hari ini aku tidak bisa lagi menghindari pertemuan dengan mas Bram. Jumat malam, dia menungguku di teras rumahku. Memang beberapa hari ini, aku selalu menghindari kontak dengannya. Panggilan dan pesan-pesannya tidak pernah kubalas. Aku marah, kecewa, dan sedih dengan sikapnya.

Aku menghela napas panjang. Kudekati dia dengan setengah hati. Sepertinya aku memang tidak bisa terus lari darinya. Aku juga bukan lagi anak kecil yang bisa sembunyi di belakang punggung ayah saat masalah datang.

"Assalamualaikum," salamku sambil menyilahkan dia duduk di kursi teras.

"Waalaikumsalam," jawabnya sambil mendengus.

"Kenapa, Mas?" tanyaku pelan.

"Aku yang harusnya tanya, kenapa?" Aku kembali menghela napas.

"Bilang Nis, apa salahku? Kenapa kamu menghindariku?" tanyanya putus asa. Aku hanya menatapnya dalam diam. Mencoba menelusuri matanya lebih dalam. Mencoba menguak sesuatu yang dia coba sembunyikan dariku. Namun, kosong. Yang kutemukan justru kesedihan, kekecewaan dan harapan yang besar padaku. Ya Allah, apa yang telah kulakukan?

"Aku bingung Mas." Akhirnya aku mengutarakan isi hatiku. Dia memandangku penuh arti, seolah ingin mengatakan, "teruskan, aku mendengarkanmu."

"Aku ...." Bingung. Apakah aku harus berterus terang saja? Atau aku mencari alasan yang lain? Dan itu artinya aku tidak ada kesempatan lagi untuk mengungkapkan isi hatiku.

"Mas. Jujur, deh, sama aku. Kenapa Mas Bram begitu terobsesi sama aku?"

"Terobsesi gimana? Aku sayang sama kamu, aku cinta kamu, itu beda sama obsesi!" teriaknya sambil menahan geram.

"Tapi, Mas. Jujur, aku sendiri belum tahu bagaimana dengan hatiku. Aku nggak ingin menyakiti Mas pada akhirnya. Apakah Mas yakin, masih mau melanjutkan hubungan ini?"

Dia menatapku tak percaya. Aku sendiri tak tahu lagi harus berkata apa? Aku hanya ingin memastikan hatiku.

"Anisa. Kumohon percayakan hatimu padaku. Aku akan berusaha sekuat tenaga agar kamu bisa mencintai aku apa adanya. Kumohon, beri aku kesempatan membuatmu tak bisa berpaling pada yang lain. Termasuk si Andy itu." Dia mengambil tanganku dan menggenggamnya. Aku bergeming mendengar kata-katanya. Kata-kata yang mengandung kesombongan, tapi aku suka. Artinya, dia memang mau berusaha mengerti dan memahamiku. Tapi, kenapa dia tidak mengatakan sesuatu tentang Dini. Apakah dia juga tidak tahu kalau adiknya itu mempunyai benda yang aku cari selama ini?

"Mas ...." Aku mengurungkan niatku untuk menanyakan perihal kalung Dini. Aku menggeleng pelan dan tersenyum. Nanti, aku yakin ada saatnya untuk menanyakan hal itu.

"Apa? Kalau ada yang masih mengganjal, katakan sekarang. Atau ...." Dia mengerlingkan matanya jahil.

"Ck. Apaan sih?" Aku menarik tanganku dari genggamannya. Dia terkekeh pelan.

"Ah. Syukurlah ... aku pikir aku akan mati kalau malam ini tak bisa bertemu denganmu," ucapnya melebihkan.

"Kenapa juga harus mati?" tanyaku pelan. Ini yang kusuka darinya, dia pandai mengalihkan perhatianku. Membuatku merasa nyaman berada di dekatnya.

"Sepertinya, aku akan menolak bila nanti akan ada pingit-pingitan atau  apa lah itu. Gimana aku bisa menahan gejolak hatiku saat berjauhan denganmu."

"Gombal!!" Aku memukul pelan bahunya sambil tertawa. Kulihat dia pura-pura meringis kesakitan. Namun sedetik kemudian, dia ikut tertawa.

"Sudah malam. Mas Bram nggak mau pulang?"

Dua Hati [Complete]Where stories live. Discover now