Bab 8 - Anisa

118 20 0
                                    

"Assalamualaikum, Mas Bram."

"Waalaikum salam," jawabnya dengan senyum lebar. Mau tak mau, aku jadi ikut tersenyum. Mas Bram itu, kalau tersenyum seperti melepas magnet di ujung bibirku, sehingga secara sukarela mereka akan membentuk lengkungan senyum juga. Sama sepeti saat ini, dan entah kenapa aku seperti melihat sinar bahagia dari sorot matanya yang tajam. Halah ... baper, nih.

Dia menarik kursi dan mempersilahkan aku duduk.

"Terima kasih," ucapku tulus.

"Sama-sama," balasnya sopan.

"Jadi ...."

"Mau pesan apa?" potongnya sambil mengulurkan buku menu. Aku jadi salah tingkah. Bukannya kami di sini mau membicarakan bisnis, ya? Kenapa jadi seolah-olah sedang kencan? Ups. Salah, salah.

Aku mulai menelusuri buku menu, kupilih steak ayam barbeque dan segelas jeruk hangat.

"Kenapa harus ketemuan di sini?" tanyaku penasaran.

"Memangnya kamu mau di mana?"

"Entah," jawabku enggan.

"Kenapa tadi menolak kujemput, malah kesini naik taksi online?" Dia terlihat cemberut.

"Tadi itu, tiba-tiba Ayah minta belikan sesuatu, karena waktunya mepet dengan jam janjian kita, akhirnya aku suruh salah satu pegawaiku bawa mobil pulang dengan Ayah."

"Ooh, gituu ...."

"Kenapa kita ada di sini?"

"Karena ini target market kita." Aku terbelalak mendengar kata-katanya. Jadi, dia bahkan memikirkan tempat bertemu yang cocok untuk bicara pekerjaan.

"Coba kamu lihat, konsep di sini hampir mirip dengan mininarket kamu, kan. Dulu tempat ini hanyalah sebuah toko kue. Namun, seiring peekembangan zaman, mereka mulai membangun pujasera di sebelahnya. Sehingga, pembeli yang awalnya hanya sekedar membeli kue, sekarang bisa juga bersantai sejenak, melepas penat. Nah, kita akan masukkan produk di sini. Jadi, selain memajang produk di etalase minimarket, kamu juga bisa menjadi supplier di pujasera-pujasera atau warung-warung lainnya. Gimana?"

Wow. Tak kusangka, ternyata dia bisa juga bicara panjang lebar. Aku terpana. Semoga aku tidak sampai membuka mulut mendengar penjelasannya.

"Anis!" Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku.

"Eh, iya." Aku tersenyum kikuk.

"Kamu, tidak sedang melamun, kan?" Aku menggelengkan kepala.

"Kamu, mendengarkan apa yang aku bilang barusan, kan?" tanyanya memastikan.

"Iya. Aku hanya tidak menyangka akan ada pencerahan pemasaran seperti ini. Selama ini, aku hanya fokus mengembangkan intern minimarket. Tidak pernah terpikirkan untuk menjemput bola seperti ini." Dia tertawa mendengar jawabanku.

"Yah, memang konsep yang kamu kembangkan di bisnis retail yang kamu kelola sudah oke, sih, sebenarnya. Saya hanya menawarkan metode lain untuk membantu pemasaran produk-produk yang masuk ke sana. Nah, nantinya, mungkin kapasitas pengambilan produk bisa meningkat dari sekedar retailer menjadi agen, lalu meningkat lagi menjadi distributor. Memang butuh modal yang besar pada awalnya, tapi banyak keuntungan yang akan di dapatkan dari posisi itu."

"Keuntungan dalam hal apa?"

Dia menatapku tajam, lalu tersenyum, "Jadi, misalnya, gini ... coba tawarkan free delivery service kepada para customer dalam jangkauan wilayah tertentu."

Ah, betul. Aku sebenarnya sudah lama ingin berdiskusi dengan seseorang tentang hal-hal semacam ini.

Dan ... disinilah kami. Berbincang santai, berbagi ide, dan mulai bercanda sedikit-sedikit. Rasanya, apapun yang kami bicarakan adalah sesuatu yang sangat menarik. Gaya bicara, bahasa dan sikapnya, sungguh mempesona.

"Kamu benar-benar luar biasa, Anis." Dia memujiku berkali-kali dengan kata-kata itu.

Tanpa kami sadari, lebih dari dua jam kami berbincang ngalor-ngidul. Kuakui, dia pandai membawa suasana.

"Eh, sudah dua jam lebih, loh. Nggak bosen, apa, ngobrol ama aku?" candaku padanya.

"Bukannya bosan, tapi lama-lama ngobrol ama kamu aku jadi takut," katanya serius.

"Kenapa?" tanyaku heran. Apa aku kelihatan menakutkan, ya?

"Takut berpisah ama kamu," jawabnya santai, dia tertawa melihat keseriusanku menunggu jawabannya.

"Idiiiih ... sialan! Aku ketipu!" Kupukul pelan lengannya. "Ternyata, selain pintar bisnis, Mas Bram juga pintar ngegombal, ya?"

"Justru ... itu, keahlian utamaku," jawabnya sombong.

"Waduh, bahaya, nih." Aku tertawa menanggapi kata-katanya.

Dia memanggil pelayan untuk meminta tagihan. Dia menolak ketika kutawarkan untuk membayar masing-masing makanan kami. Ya, sudahlah. Aku mengalah. Kami pun berlalu dari pujasera di jalan Ngagel itu menuju masjid Al-Falah untuk shalat Maghrib sebelum kembali ke rumah.

🌸🌸🌸🌸🌸

"Din-din?" Kudengar dia berkata lirih.

"Kenapa?" tanyaku penasaran. Pandangannya lurus ke depan. Kuikuti arah pandangnya.

"Loh ... itu, kan ...." Aku melihat Andy bersama dengan gadis yang tadi siang menyapa kami di Galaxy Mall. Aku melihat lelaki di sebelahku ini, tak henti melihat ke arah mereka.

"Kamu, kenal mereka?" tanyaku penasaran.

"Aku belum tahu lelaki itu. Tapi, gadis itu ...."

"Pacar kamu?" potongku. Dengan cepat dia memutar kepala menoleh ke arahku, kupikir pasti lehernya sakit kalau melakukan hal itu. Dia menatapku tajam, lalu ....

"Pacar? Hahahaha." Kok, malah ketawa? "Dia, adikku. Dan lelaki itu, pasti calon suaminya."

Hah? Andy? Calon suami?

Nyut-nyut! Tiba-tiba kepalaku berdenyut. Apalagi di sana kulihat Andy tengah mengulurkan sebuah kotak kecil pada gadis itu. Mungkinkah itu yang dibelinya tadi siang saat bersamaku.

Ah! Aku memijit kepala peningku.

"Kamu, kenapa?" Mas Bram terlihat panik saat melihatku memijat dahi.

"Nggak, aku nggak pa-pa, kok," jawabku berbohong. Padahal, rasanya nyeri di dada.

"Kita ke sana dulu, yuk," ajaknya. Oh, tidak! Jangan! Aku rasanya nggak sanggup lagi. Namun, tidak sopan kalau menolaknya. Lagian, aku penasaran tentang hubungan mereka.

"Din-din." Gadis itu menoleh, dia terperanjat melihat Mas Bram berjalan santai mendekatinya. Kulihat Andy juga terlihat santai. Aku yang berusaha menahan debar di dada, mencoba menampilkan senyuman terbaikku.

"Mas Bram. Kok, ada di sini?" tanyanya menyelidik. Sepertinya dia kesal bertemu kakaknya di tempat ini.

"Oh, jadi ini ...."

"Ih, apaan sih, Brambang goreng rese, nih," sahutnya kesal. Aku tersenyum mendengar dia memanggil kakaknya dengan sebutan Brambang Goreng.

"Kenalin, aku Bramantyo, kakak si Din-din," ucapnya santai sambil bersalaman dengan Andy. Kulihat gadis itu cemberut, sedangkan Andy tertawa.

"Dan, ini ...."

"Anis," potong Andy saat berhadapan denganku. Aku membalas senyumnya.

"Assalamualaikum, kita ketemu lagi," sapaku pada gadis lucu itu, Dini. Sepertinya dia tidak menyukaiku.

"Eh, kalian ...." Mas Bram menatapku dan Andy bergantian.

"Anis ini, sahabatku Mas," jawab Andy menjawab pertanyaan Mas Bram. Aku hanya mengangguk, kusembunyikan sesak dalam senyuman. Semoga tidak terlihat kecut.

Ya, Allah ....

Kurasa mereka terlibat pembicaraan yang tidak harus aku ketahui. Untung saja ponselku berbunyi.

Aku sedang menerima panggilan dari ayah, ketika tiba-tiba kulihat Dini, berlalu meninggalkan kami. Dua lelaki itu berusaha memanggilnya.

Kenapa ya?

Dua Hati [Complete]Where stories live. Discover now