Bab 16

147 18 0
                                    

"Silahkan." Aku mempersilahkan Dini--yang tadinya kupikir Syifa, untuk melihat ruanganku saat ini. Lalu, kuajak dia naik ke lantai dua agar dia bisa melihat kondisinya dan menggambarkan rancangan yang terbaik buatku.

"Jadi, nanti Mbak mau bikin ruang kerja di sini?" Aku mengangguk pelan. Kulihat dia juga mengangguk-anggukkan kepala, lalu mulai berkeliling. Dia pun mengeluarkan seperti buku sketsa kecil dan mulai mencoret-coret diatasnya. Aku sungguh tak tahu apa yang dipikirkannya saat ini, tapi melihatnya tampak kalem begini, hatiku sedikit berdebar.

"Kamu ... usia berapa sekarang?" Kulihat dia terkejut mendengar pertanyaanku.

"23 tahun."

"Wow, hebat yaa. Usia 23 tahun tapi sudah jadi arsitek." Dia hanya tersenyum, tanpa menanggapi kata-kataku. Mungkin baginya itu hanya sekedar basa-basi yang tidak terlalu penting untuk dijawab.

"Maaf, ya, tadi aku memanggilmu ...."

"It's ok," potongnya seolah tak ingin memperpanjang percakapan tentang kesalahanku tadi.

"Kamu dan Mas Bram kelihatan mirip kalau begini." Dia menoleh dengan cepat ke arahku. Pasti kaget mendengar ocehanku, secara kapan hari kudengar Tante Ratna pun meragukan kemiripan mereka.

"Mbak bercanda, kan?" tanyanya sinis. Ah, kenapa susah sekali membangun kepercayaannya. Tapi, aku harus bisa mendekatinya, setidaknya aku bisa tahu, apa yang membuat Andy tergila-gila pada gadis tomboy ini.

Aku hanya tersenyum simpul mendengar tanyanya, tak berniat melanjutkan lagi ocehanku. Dia masih melihat beberapa bagian ruang dan seperti menerawang sesuatu. Biarlah, sepertinya dia sedang serius. Aku duduk menunggunya sambil memainkan ponsel.

Tak berapa lama, dia sudah selesai dan berpamitan, dia bilang akan mencoba membuat designnya dahulu. Aku hanya mengiyakan saja. Entah kenapa, rasa hatiku menghangat saat dia berada dalam radius 10 Cm di dekatku. Seperti ketika kami berjalan bersisian menuju pintu keluar ini. Bahkan tanpa sadar, senyum yang kulepas untuknya kurasakan begitu tulus keluar dari lubuk hati terdalam. Seperti ada kerinduan yang terpendam begitu dalam.

Alunan melody dari ponselku membangunkanku dari lamunan. Dini sudah sekian waktu berlalu, tapi aku masih tetap berdiri di tempatku.

"Assalamualaikum," salamku menjawab panggilan masuk ke ponselku.

"Waalaikumsalam, Cantik." Mas Bram. Selalu begitu. Cowok satu ini tak henti-hentinya menggodaku. Tapi, kenapa aku merasa biasa, ya. Tidak jengkel tapi juga tidak terlalu suka. Biasa saja.

"Kenapa, Mas?" tanyaku sambil berjalan masuk ke ruanganku.

"Stop!" Aku menghentikan langkah. Apa maksudnya? Apa dia berada di dekatku dan mengetahui gerak-gerikku? Kenapa dia memintaku berhenti? Aku celingak-celinguk barangkali ada sosok lelaki tengil itu di sekitarku. Tapi, tidak ada.

"Apa yang stop?" Aku menyadari kekonyolanku. Siapa tahu dia sedang bicara dengan orang lain di ujung sana. 

"Hehehe ... kamu."

"Aku? Maksudnya?"

"Sekarang sudah jam makan siang, Cantik. Jadi aku akan berbaik hati menjemputmu untuk makan siang. Kamu aku izinkan memilih restoran mana pun yang kamu suka," katanya jumawa. Makin hari makin parah saja tingkat kepercayaan dirinya. Tapi, tanpa sadar aku tersenyum tipis mendengarnya. Bukannya mual, tapi aku seolah mendapat hiburan dari kata-kata sombongnya.

"Memangnya Mas Bram sedang di Surabaya? Bolos ya?"

"Bolos? Tidak, dong. Manager terbaik tidak pernah membuang waktunya percuma. Kita akan membicarakan bisnis sambil makan siang, sekalian aku bisa menyegarkan mataku saat memandang wajahmu yang indah."

Dua Hati [Complete]Where stories live. Discover now