Bab 14

134 20 0
                                    

Siang ini aku dan Andy makan  bersama setelah hampir seminggu kami tidak bertemu. Maklum sebagai dokter residen, dia tidak bisa bebas keluar. Namun, karena lokasinya kali ini tidak seberapa jauh dari rumah sakitnya, dan aku juga mengatakan kalau ada sesuatu hal penting yang harus kubicarakan dengannya, dia akhirnya setuju untuk bertemu. Depot sate Pak Seger sepertinya lokasi yang tepat buat makan siang kali ini.

"Kamu akhir-akhir ini susah dihubungi, sibuk banget, ya?" tanyaku sedikit khawatir. Andy terlihat lebih kurus sedikit.

"Hem ... tugas semakin menumpuk. Resiko jadi residen keren, ya, gini. Juniorku sering minta konsul hingga larut. Tugas jaga juga ditambah di akhir pekan. Fiuh."

Aku tersenyum menanggapinya. "Meski begitu, jangan lupa makan dan istirahat dengan teratur. Supaya anak-anak juga senang liat dokternya yang ganteng ini," kataku sedikit memujinya. Dia tertawa mendengar aku berkata seperti itu.

"Kamu ada perlu apa sama aku?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Aku mendesah pelan. Spertinya Andy tidak tertarik dengan rayuanku.

"Bisa tolong aku, Ndy?" kataku serius.

"Apa?" tanyanya sedikit curiga.

"Aku ingin ketemu Dini." Dia mengernyitkan kening, menatapku seolah mengatakan, "Jangan macam-macam, deh, Nis."

"Ada perlu apa?" tanyanya sarkas.

"Please, deh, Ndy. Apa aku punya tampang sejahat itu? Hingga kamu tidak percaya kalau aku tidak akan menyakiti 'GADISMU'." Aku menekan kata gadismu dengan rasa sakit di dada. Teganya dia berkata begitu padaku.

"Hahaha, maafkan aku, Nis." Suaranya melembut dan senyumnya mulai terkembang.

"Aku ingin me-renovasi ruangan kerjaku." Aku menjelaskan maksud tujuanku bertemu Dini. Sebenarnya, aku bisa saja mencari arsitek lain. Tapi, entah kenapa aku justru menghubungi Andy. Mungkin salah satu alasannya adalah supaya bisa lebih sering bertemu dengannya. Aku merasa Andy jadi lebih enak diajak ngobrol bila menyangkut Dini. Aku ingin memberikan kesan padanya kalau bukan hanya Dini yang care padanya, aku juga bisa.

"Oh, gitu. Oke, nanti aku sampaikan ke Dini," katanya dengan senyum semakin mengembang. Ah, dadaku kembali berdebar. Senyum itu yang dulu membangkitkan semangatku. Kelembutan itu yang dulu membantuku melupakan sesak di dada kala kehilangan adikku.

Saat aku sedang menikmati senyumnya, tiba-tiba dia berkata,
"Pak, bungkus garang asem satu, ya?" pintanya pada pelayan yang lewat meja kami.

"Buat Dini?" tanyaku spontan. Duh, semoga tidak ada nada cemburu di kata-kataku. Dia mengangguk sambil tersenyum.

"Kamu sering ke tempat kerjanya?"

"Tidak. Pekerjaannya di lapangan, jadi jarang ada di kantor. Kebetulan siang ini dia tidak ada kunjungan site lapangan."

"Kamu ... bilang kalau sedang makan siang bersamaku?" tanyaku hati-hati.

"He-eh," jawabnya singkat.

"Dia, tidak keberatan?"

"Tidak. Malah dia pesan ini, nih." Dia menunjuk sebungkus garang asem yang sudah diletakkan di meja kami. Aku mengangguk senang. Semoga Dini tidak salah paham dengan pertemuan kami. Gadis itu sungguh berani. Dia sudah mempertegas hubungannya dengan Andy. Demikian juga Andy. Hanya aku yang masih belum bisa move on dari perasaanku sendiri. Aku selalu meyakinkan hatiku, selama belum ada janut kuning melengkung, aku masih punya kesempatan. Terkesan egois, tapi salahkah aku mencintainya. Lelaki yang sudah mau menemaniku di saat-saat terburukku.

🌸🌸🌸🌸🌸

"Gimana, Nis?" Sabtu ini aku bertemu dengan mas Bram. Sifat keras kepalanya sungguh membuatku jengkel. Tanpa pemberitahuan apapun dia main samper aja ke minimarket dan menculikku ke cafe unik di wilayah lingkar timur Surabaya ini.

Dua Hati [Complete]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें