Bab 23

128 16 0
                                    

Bab ini langsung meluncur ke Mbok_Dee

Jangan lupa
Vote dan komennya yaa...

Love you all.
😘😘😘😘

Bab 23

Semangat hari senin, it's update time.
Happy reading.

"Assalamu'alaikum," salamku setelah melihat nama Mas Bram di telpom genggamku.

"Wa'alaikumusallam. Adek dimana?" Tumben Mas Bram siang-siang begini telpon, setahuku minggu ini dia ada kerjaan di Bali.

"Kantor lah, Mas. Kenapa? Jangan bilang kangen, gombalanmu gak bakalan berhasil sama aku."

"Dek, kapan hari kamu bilang mau ketemu Anis, kan?"

"Iya. Emang kenapa, Mas?" Suara Mas Bram kok aneh sih? Memoriku kembali ke hari dimana aku bertemu dengan kekasih Mas Bram itu.

"Ini design yang aku siapkan, Mbak." Aku mencoba menjelaskan dengan bahasa sesimple mungkin, yang membuat dia jadi lebih mudah memahami rancanganku. Saat merasa kesulitan menjelaskan gambar dari kertas A3 yang ada diatas meja kerjanya, aku berdiri dan sedikit membungkuk untuk menunjukkan sudut ruang kerjanya yang bisa difungsikan menjadi ruang penerima tamu. Saat itulah aku melihat wajahnya seputih kapas seperti melihat hantu.

"Mbak!" Aku memanggilnya dengan sedikit keras, tangan yang melakukan gerakan didepan matanya pun tak bisa membuatnya tersadar dari apapun yang membuatnya terpaku.

"Mbak!" Sekali lagi aku membentak yang akhirnya membuat kesadarannya kembali.

"Eh ... maaf, tadi sempat ngelamun. Gimana, tadi Dini bilang apa?" Apa yang terjadi dengannya, suaranya menjadi bergetar seperti menahan tangis. Kuperhatikan matanya yang mulai berkaca-kaca terpaku di bandul kalung yang sudah lama melingkar di leherku. Ada apa dengannya?

"Mbak, kenapa?" Aku memberanikan diri menanyakannya, meski aku ragu dia akan menjawabnya dengan jujur.

"Eh, gak ada apa-apa. Tapi sepertinya aku harus pergi, tiba-tiba inget ada janji untuk anter ayah kontrol. Dini bisa tinggalkan gambar dan perkiraan budgetnya untuk aku pelajari lagi, gak?"

"Boleh, mbak. Aku tinggal semuanya, kalau ada yang mau ditanyakan, jangan ragu untuk telpon." Secepat mungki  aku membereskan semua barang-barangku. "Aku pamit dulu ya Mbak, maaf ganggu waktunya. Ditunggu kabarnya."

"Maaf ya Dini, aku benar-benar lupa. Next time ketemu sambil makan siang ya. Makasih." Setelah saling mengucapkan salam, kutinggalkan dia yang masih terduduk di meja kerjanya dengan wajah yang masih seputih kapas. Aku penasaran dengannya, tapi akan sangat tidak sopan kalau aku menanyakan ada masalah apa.

"Dek!" Bentakan Mas Bram dari ujung telpon membawaku kembali keruang kerjaku.

"Iya, Mas. Kapan hari aku ketemu Mbak Anis, tapi gak lama. Tiba-tiba dia bilang kalau harus anter ayahnya kontrol, ada apa to?" Pasti ada sesuatu yang terjadi.

"Ntar malam pulang kerumah ya, jangan pulang Apartemen."

"Yes, bos! Sekarang biarkan adikmu kembali bekerja sebelum gajiku dipotong sama Pak Bos." Sengaja aku membesarkan volume suaraku agar Papa yang berjalan memasuki ruangan mendengarmya juga.

"Mas-mu?" tanya Papa yang kujawab dengan anggukan.

"Tuh, aku udah ditegur Pak Bos. Tanggung jawab, Mas!" Kudengar tawanya diujung sana.

"Bilang Papa, anak gantengnya nanti malam pulang. Dadah adikku sayang, love ya! Assalamu'alaikum." Setelah membalas salamnya aku meletakkan telpon dan kembali ke lembar potongan design rumah Mas Biru yang sudah beberapa hari kuabaikan.

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang