Bab 4 - Anisa

149 25 2
                                    

Aku merasa sedang diperhatikan oleh seseorang. Kuayun pandangan menyisir seluruh ruangan minimarket. Beberapa pelanggan yang duduk di kursi cafe sedang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Ada yang menunduk fokus ke layar ponselnya, ada yang makan mie instan, ada yang sedang berjalan di antara rak-rak barang, dan seorang gadis bertransaksi di depan kasir.

Ah! Pandangan kami sempat bertemu. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi dimana ya?

Ketika gadis itu keluar, aku masih mengikuti langkahnya dengan ekor mataku hingga dia masuk ke mobilnya. Aku masih berusaha membongkar memoriku tentang gadis itu ketika perhatianku teralihkan sosok Andy yang keluar dari mobil bersamaan dengan berlalunya mobil gadis itu.

Assalamualaikum," salam Andy saat mendekatiku.

"Waalaikum salam. Duduk, Ndy." Aku menunjuk kursi kosong di depanku.

"Terima kasih. Wah, rame, ya?" Andy mengedarkan pandangan ke seluruh toko.

"Alhamdulillah," jawabku merendah. "Mau minum apa? Panas atau dingin?"

"Anything. Dingin saja," jawabnya singkat.

Aku beranjak menuju showcase terdekat dan mengambil minuman teh dalam kemasan.

"Enak ya, jadi bos. Mau apa aja, tinggal ambil," komentarnya saat aku kembali.

"Siapa bilang? Tuh, si kasir udah auto catat saat bosnya ambil sesuatu. Dan parahnya, dia berani kasih bill saat closing." Dia tertawa mendengar celotehku.

"Ada perlu apa, nih? Malem-malem ngajak ketemuan?" tanyaku setelah tawanya mereda.

"Kangen aja. Sudah lama kita tidak bertemu," jawabnya santai seolah tak menyadari apa yang diucapkannya telah menimbulkan debar di dadaku.

"Bisa, aja." Aku tersipu dan menundukkan wajah.

"Kamu ...."

"Kamu ...."

Kami berkata lalu tertawa bersama.

"Kamu dulu," ucapku pelan.

"Kamu, kenapa dulu menghilang begitu saja?" tanyanya serius.

Aku menghela napas panjang. Sebuah kenangan yang ingin kulupakan, kini diminta untuk kuungkap kembali. Rasanya seperti membuka kotak besi yang sudah berkarat. Kepindahanku dulu memang tidak ada yang tahu. Kami sempat berpindah dari satu kota ke kota yang lain sebelum akhirnya, kami memutuskan tinggal di Surabaya.

"Ya, sudah. Kalau berat, tidak perlu diceritakan," katanya seolah menyadari perubahan raut wajahku yang tiba-tiba sendu, "Bertemu kamu lagi, aku sudah bahagia." Dia tersenyum menatapku.

"Maaf, Ndy. Kalau aku sudah siap, aku akan ceritakan semuanya." Dia mengangguk lalu meraih tanganku. Deg! Aku menarik tanganku pelan dari genggamannya. Takut ada orang lain yang melihatnya. Padahal hanya pegang tangan, tapi aku merasa risih.

"Maaf," ucapnya menyadari penolakanku.

"Tidak, aku yang minta maaf. Aku ...." Tak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya menunduk dan memainkan jari jemariku.

"It's ok." Dia tersenyum kembali.

Keheningan beberapa detik menyelimuti kami.

"Kamu sendiri, sejak kapan pindah ke Surabaya?" tanyaku memecah kecanggungan. Dia tertawa sejenak.

"Setahun setelah kamu pergi," jawabnya singkat. "Oh ya, Nis. Bagaimana kabar Ibumu?"

"Ibu sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu," kataku pelan.

Dua Hati [Complete]Where stories live. Discover now