Bab 25

117 13 0
                                    

Bagian ini langsung meluncur ke lapak Mbok_Dee yaaa ...

Jangan lupa di vote ya
Biar kami semangat ngelanjutin, nih... 😘😘😘😯

Bab 25

3 hari aku lost contact sama Mas Andy semenjak video call terakhir. Semua cara kucoba, sampai memenuhi ruang obrolan wa, line bahkan sampai sms.

"Dek," panggil Mas Bram yang entah semenjak kapan duduk sebelahku di gazebo.
"Hmm," jawabku tanpa melepas pandangan dari layar datar ditanganku. Aku masih berusaha menghubungi lelaki yang dengan bangga kusebut calon suamiku.

"Adeeeekk." Setelah meletakkan gawai di atas novel yang belum kusentuh semejak tadi, kulihat wajah kusut kakak lelakiku.

"Kenapa to Mas?"

"Anis belum jawab semua pesan dan telpon Mas." Ya Allah, kenapa perasaanku tiba-tiba gak enak. Aku benar-benar sibuk sampai gak memperhatikan kakakku yang akhir-akhir ini lebih sering pulang kerumah.

"Mas ... adek juga gak bisa huhungi Mas Andy. Terakhir kita video call malam waktu Mas pulang itu." Kutunjukkan ruang obrolan yang masih belum terjawab hingga sekarang.

"Jangan mikir aneh-aneh, mungkin saja dia lagi didaerah yang susah sinyal. Gak mungkin kan Andy lebih milih dugong ketimbang kamu. Meski mas yakin dugong lebih enak dipeluk daripada kamu yang pendek dan gak berisi ini." Sambel mana sambel, suasana sedih gini bisa-bisanya dia samain adik sendiri sama dugong. Tangan ini otomatis cubit perutnya yang sudah mulai terlihat timbunan lemak.

"Adek, sakiiitt." Rintihnya sambil berusaha melepas cubitan diperutnya.

Setelah jariku terlepas, digengamnya erat tanganku. Salah satu tangan ternyaman yang siap mengenggam tanganku disaat aku membutuhkan dukungan. Seperti minggu kemarin saat aku pulang dari kediri.

"Mas Bram mana, Ma?" tanyaku saat menemukan Mama duduk sendiri di gazebo. Pasti gak lama Papa juga menyusul, kebiasaan Mama kalau duduk diluar tanpa memakai jaket besoknya langsung masuk angin. Jadi Papa yang selalu mengambilkan jaket atau selimut, romantis kan mereka.

"Lagi anter Anis pulang. Mama suka Anis, ada sesuatu yang membuat mama nyaman dengannya." Aku hanya menjawab Mama dengan anggukan, mau menjawab juga tak punya tenaga rasanya.

"Adek," panggil Mama.

"Hmm,"

"Jangan sedih ya. Mama tahu adek berharap bisa langsung ketemu mereka. Mama kan sudah bilang kalau mereka pindah." Kulihat Papa menuju kemari dengan 2 selimut ditangannya.

"Untuk bidadari surga Papa dan untuk kesayangan Papa," ucap Papa sambil menyampirkan satu persatu selimut kepundakku dan Mama.

Papa memilih duduk disebelah kiriku, bukan disebelah kanan Mama.

"Sampai kapanpun, Adek tetap anak Papa dan Mama. Terlepas dari mereka masih hidup atau tidak, sayang Mama Papa dan Mas Bram tidak akam berkurang sedikitpun. Papa tahu Adek sedih karena belum berhasil bertemu mereka, tapi jangan bersedih terlalu lama. Pelan-pelan kita mencari mereka. Deal?" Tanya papa dengan tangan terentang memintaku untuk masuk kedalam pelukannya. Aku menangis lagi didada Papa, kutumpahkan kesedihanku semenjak mengetahui bahwa mereka sudah tidak tinggal lagi di Kediri. Pelukan Mama kurasakan gak lama setelah Papa melingkarkan tangan dan mengusap usap punggungku. Entah berapa lama aku menangis dipelukan mereka berdua saat kurasakan satu pelukan lagi dilingkaran kami , Mas Bram datang melengkapi formasi teletubbies kita.

"Dulu mudah memeluk kalian, waktu belum sebesar ini." Papa memecah keharuan kami semua.

"Besar? Bram aja yang besar Pap. Kalau Adek kan gak jadi besar, dari dulu setinggi anak SMA. Bahkan anak SMA aja lebih tinggi dibanding dia."

"Duh mulutnya lemes banget, abis diapain ama Mbak Anis tuh." Ejekku.

"Enak aja!" Mas Bram berusaha menjitak kepalaku yang tentu saja tidak berhasil. Karena aku sudah membaca gelagatnya, dan cepat-cepat bersembunyi dibalik Papa.

"Mas, Dek! Kayak anak kecil aja sih," tegur Mama saat melihat Mas Bram berusaha meraihku dibalik Papa.

"Duduk situ, Mas." Perintah papa. Kalau sudah begini mana berani dia meneruskan balas dendamnya. Mas Bram menjatuhkan pantatnya disebelah kanan Mama dan aku kembali duduk disebalah kanan Papa.

"Mas dan Adek. Kalian sudah sama-sama dewasa, Mama dan Papa juga semakin tua. Setiap saat Allah bisa ambil nyawa Mama dan Papa." Saat ini air mataku sudah keluar lagi, aku lingkarkan tangan ke perut Papa. Kulihat Mas Bram menarik Mama kedalam pelukannya.

"Papa dan Mama bangga sama kalian berdua. Ingat semua pesan Mama Papa selama ini. Papa yakin Mas Bram akan jadi Imam yang terbaik untuk Anis, dan Adek ... akan menjadi istri shaliha. Adek ingat! Tiga orang yang siap memeluk kapanpun Adek membutuhkan, akan selalu menjadi  keluargamu. Kami bertiga akan selalu berada dibelakangmu. Jangan bersedih hanya karena belum bisa bertemu mereka. Pelan-pelan kita cari bersama. Karena itu salah satu fungsi keluarga, saling membantu." Tangisku semakin pecah saat Papa selesai dengan wejangannya. Dan kurasakan pelukan teletubbies itu lagi. Pelukan yang menghangatkan hati, pelukan yang aku tahu akan selalu ada untukku. Terima kasih Ya Allah, ijinkan aku untuk membalas kebaikan mereka bertiga selama ini. Doaku dalam hati.

Tiba-tiba terdengan Mama bersin, "Nah, itu tandanya Mama sudah mulai kedinginan. Ayo masuk, Ma," ajak Papa setelah mengurai pelukan kami berempat.

Mama berdiri kemudian mencium pipi dan kening Mas Bram, "love you sayang." Giliranku, "Mama sayang sama adek, jangan pernah meragukan itu. Meski adek gak keluar dari rahim Mama, tapi buat Mama adek tetap gadis kesayangan Mama. Love you sayangnya Mama." Mama mencium pipi dan keningku sebelum berjalan masuk kerumah dengan tangan Papa yang setia memeluk pundak Mama.

Air mataku meleleh lagi saat melihat mereka berdua, badanku ditarik kesamping dan kembali merasakan hangatnya pelukan Mas Bram.

"Mas," panggilku dengan tangan melingkar diperutnya.

"Hmm,"

"Kalau mereka gak pernah cari Adek, gimana?" tanyaku dengan suara serak.

"Mas yakin mereka mencarimu selama ini." Ada keyakinan disuara Mas Bram, seolah-olah dia mengetahui sesuatu.

"Mas kok tahu?"

"Karena yang namanya saudara pasti merasa ada yang kurang saat tidak lengkap. Mas bisa pastikan mereka mencarimu selama ini, hanya belum ketemu," jawab Mas Bram dengan suara yang mantab.

"Semoga," jawabku lirih.

"Adek tahu kan, kalau Mas sayang kamu?" Kujawab dengan anggukan dengan kepala menyandar di dadanya.

Seperti yang Papa bilang tadi, sampai kapanpun kamu adiknya adiknya Mas Bram dan tidak ada satupun yang bisa merubah ataupun mengurangi rasa sayang Mas ke kamu. Ingat itu! Bahkan rasa sayang Andy tak sebesar rasa sayang Mas ke kamu. Karena Mas tahu Andy lagi khilaf saat bilang sayang sama kamu." Ya Allah ini kakak, kucubit perutnya untuk menghentikan omongan pedasnya.

"Adek! Ngelamun lagi?" Hentakan tangan Mas Bram menghentikan lamunanku.

"Jangan mikir yang gak-gak. Percayalah kalau kau lebih menarik ketimbang dugong." Katanya sambil menarikku kedalam pelukannya dan mencium pelipisku. Untuk saat ini aku malas untuk mencubit perutnya lagi. Aku mau menikmati pelukannya saja.

Dua Hati [Complete]Where stories live. Discover now