Bab 29

116 14 0
                                    

Seperti biasanya. Di bab ganjil kita akan bertemu di Mbok_Dee...

Jangan lupa vote yaa..😘😘😘

Terima kasih.

Bab 29

"Adek, nanti jangan pulang terlalu sore!" perintah Mama dari ujung sana.

"Iya mamaku sayaaang. Adek udah tahu, lagian ya. Gimana mau telat, kalau Pak Bos dari tadi udah keburu pengen pulang aja tuh." Aku lihat Papa dari kejauhan udah siap-siap mau pulang, padahal waktu baru menunjukkan pukul 11.00. Masih terlalu pagi untuk pulang, kan.

"Biar gak telat, Adek ikut Papa aja pulangnya. Mobil tinggal kantor saja, jangan lupa mampir rumah Tante Anni untuk ambil kue pesenan Mama." Acara habis Mahgrib, tapi aku disuruh pulang sebelum zuhur gini. Mama ada-ada aja deh.

"Iya, Mama. Nanti adek mampir rumah Tante Anni, tapi gak sekarang juga kali. Adek pulang sendiri nanti," ujarku sambil mulai membuka coretan untuk desain rumah Mas Biru. Mas Biru ... hanya melihat coretannya begini membuatku kembali memikirkannya.

"Adek!" Bentakan Mama membuatku kembali konsentrasi mendengarkan rincian tugas yang harus kuselesaikan sebelum sampai rumah.

"Iya Mamaaa, adek balik kerja dulu ya. Kirim list tugas adek aja." Setelah menjawab salam Mama, aku kembali melihat coretan yang tersebar diatas meja kerja.

"Saya ingin kenal dini lebih dekat, boleh?" Pertanyaan mas biru terus terulang seperti rekaman rusak di otakku.

[Dinner tonight?] Pesan Mas Biru masuk saat aku masih belum bisa mengenyahkannya dari ingatanku.

[I can't. Nanti malam ada acara lamaran kakak. kemarin saya sudah cerita, kan?]

[Lunch? I really really need to see you]

Aku bingung mau menjawab apa, untuk beberapa menit aku membiarkan pesan itu. Sampai ... kulihat nama Mas Biru di caller id.

Assalamu'alaikum Mas," jawabku.

"Wa'alaikumusallam. Saya ganggu kah?" 

"Sebenarnya iya, hari ini acara lamaran kakak saya. Dipending dulu, bisa?" Aku benar-benar gak bisa memasukkan Mas Banyu diantara kekalutan pikiranku. Tidak, tidak sekarang. Disaat hampir semua ruang pikirku tercurahkan untuk memikirkan Mas Andy.

"Okey, saya di Surabaya sampai minggu depan. Kabari saya, bye Din."

***

"Assalamu'alaikum. Maaf Adek telat, tadi padahal udah kasih arah ama Om Ican kok bisa masih nyasar." Aku nyerocos tanpa malu saat memasuki pintu rumah Mbak Anis yang terbuka dan semua mata memandangku. Tapi anehnya setiap mata yang tertuju kepadaku terlihat memerah karena menangis. Aku masih bisa melihat sisa air mata di pipi Mama dan Papa. Bahkan Mas Bram pun terlihat terharu.

Sebelum aku sempat menanyakan ke Mama, badanku ditarik kedalam pelukan seseorang. Badanku seketika kaku tak bisa bergerak, lelaki beruban yang kutengarahi adalah ayah Mbak Anis ini memelukku dengan erat. Terdengar sesenggukan suara tangis lelaki yang masih erat memelukku ini. "Syifa ...."

Tangah kokoh yang mulai keriput menangkup kedua pipiku, "Syifa-nya Ayah. Kamu Syifa-nya Ayah. Ya Allah, akhirnya Ayah bisa peluk kamu lagi." Sekali lagi aku dipeluknya erat, seakan tak rela untuk berpisah. Syifa, kenapa beliau memanggilku Syifa?

"Ma," panggilku setelah berhasil sadar dari keterkejutan ini.

"Sini sayang." Papa menuntunku untuk duduk disebelah Mama. Di depan lelaki yang masih terlihat shock, begitu juga Mbak Anis yang terlihat masih sesenggukan dipelukan Mas Bram. Bujang lapuk itu menang banyak, sempat-sempatnya mengambil kesempatan peluk-pelukan.

"Adek, kenalkan ini ayahnya Mbak Anis," kata mama. Aku berdiri dan mengulurkan tangan untuk salim, "Assalamu'alaikum, Om. Saya Dini."

"Adek," Papa memelukku dari samping. "Apa yang akan Papa sampaikan pasti membuatmu terkejut. Jadi gini, Mama dan Papa barusan tahu kalau Ibunya Mbak Anis adalah sahabat Mama waktu di kediri dulu." Kediri, pikiranku langsung melayang ke cerita Mama tentang sahabatnya. Deg! Sahabat?

"Pa ... maksud Papa. Ayahnya Mbak Anis itu ...? Kulihat Mama memelukku dan berbisik, "Itu Ayahnya Adek."

Kelepas pelukan mama dengan mata menyorotkan ketidakpercayaan. Kulihat Papa, Mas Bram, Mbak Anis, Ayahnya dan kembali lagi ke Mama. Mungkin kalau bola mata ini bisa lepas, mungkin sudah menggelinding keluar dari rongga mata ini.

"Ayah? Beneran Om adalah Ayah Dini, Mbak Anis kakakku?" tanyaku dan tidak membutuh waktu lama akupun kembali kedalam pelukannya lagi.

"Ini ayah, Syif ...  Ayahnya Syifa." Aku menangis dalam pelukannya, dan tangisanku semakin kencang saat kurasanya ada satu orang lagi yang memelukku dari belakang. Aku menangis sesenggukan, tidak percaya rasanya aku bisa bertemu mereka dengan cara yang tak disangka-sangka. Saat akan berpalingmelihat Mbak Anis yang berada dibelakangku tiba-tiba aku merasa tanah yang kupijak bergoyang dan aku pasti terjatuh jika tidak ada lengan Ayah menahanku.

"Adek ...." Jeritan Mama adalah suara terakhir yang kudengar sebelum aku terjatuh.

Aku terbangun di kamar asing, rapi dengan tidak terlalu banyak pernak-pernik. Terdapat 2 pigora foto di meja nakas samping ranjang, sepertinya itu foto wisuda Mbak Anis dan satu lagi fotonya bersama Ibu. Mataku memanas siap untuk memuntahkan kembali sir mata.

"Hei," Kulihat dia duduk diujung ranjang sambil memijat kakiku, tercium bau minyak kayu putih yang menyengat. 

"Hai ...." Aku mencoba duduk tapi pening di kepala memuatku tak bertenaga.

"Jangan duduk dulu. Aku panggil Mama dulu ya."

Tak lama dia masuk kembali bersama Mama, Papa dan tentu saja Mas Bram.

"Adek," panggil Mama yang membantuku duduk dan menarik badanku untuk masuk kepelukannya. Nyaman.

"Adek, masih pening?" tanya Papa.

"Masih pusing, Pap ...." 

"Mas, angkat adekmu. Kita bawa ke Rumah Sakit." Kututup mata erat-erat karena tak sanggup melihat segala sesuatu yang terlihat berputar-putar, ditambah kepala terasa di palu berulang-ulang.

"Astagfirullah Astagfirullah"  Istigfhar yang terus kuucapkan hingga terasa badanku terangkat, lengan kekar Mas Bram mengangkatku dengan mudah. Meski mata ini tertutup, aku tahu kakak lelakiku yang siap melepas masa lajangnya mengangkatku.

"Yah, opname lagi deh," gumamku dengan kepala bersandar lemah di dada bidang Mas Bram.

Dua Hati [Complete]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin