Bab 3 - Dini

183 24 0
                                    

Writen by Mbok_Dee

Kembali ke sini mengingatkanku pada kenangan buruk yang ingin aku lupakan. Kenangan tentang seseorang  yang gak boleh disebut namanya, dia yang  sudah menorehkan luka terlalu dalam di hati. Lelaki pengecut dengan mulut manis, tetapi kenyataannya dengan penuh kesadaran menusuk dari belakang.

Satu tahun lamanya aku dibodohi dengan semua janji manisnya, dengan perlakuan bak pangeran berkuda putihnya.
Kubuang jauh-jauh ingatan tentang dia saat mobil yang dikemudikan Mas Galuh sampai di Hotel tempat kita menginap untuk empat hari.

“Dek, jadwal kita bertemu dengan Mr. Sal jam berapa?”

Selama empat hari kita di Pulau Dewata, jadwal kubuat padat untuk bekerja karena aku ingin di hari akhir untuk bersantai dan ketemu dengan Ika-sahabatku yang selepas kuliah menetap di Bali mengikuti suaminya yang berkebangsaan Inggris.

“Jam 15.00, Mas.”

“Oke. Nanti ketemu di Lobby jam 14.30, ya,” katanya.

“Eh, Mas mau ke mana?” Aku berteriak memanggilnya yang masuk kembali ke mobil tanpa check-in hotel terlebih dahulu.

“Mau pacaran dulu, anak kecil gak usah ikut.” Jengkelin banget nih orang, mentang-mentang disini ada pacarnya.
Mas Galuh masih terhitung saudara mama, laki-laki berbadan gempal ini sudah hampir dua tahun menduda. Istrinya meninggal saat melahirkan anak pertama mereka, dan anak Mas Galuh menyusul ibunya sehari kemudian. Gak semua orang bisa sesabar itu, dalam dua hari berturut-turut dia menguburkan istri dan anaknya.
Alhamdulillah, sudah dua bulan ini dia dekat dengan perempuan pemilik panti asuhan di daerah Sanur. Perempuan sholeha dengan hijab panjang yang menutupi bagian belakangnya, aku hanya tahu dari foto yang pernah Mas Galuh share di whatsapp group keluarga. Mereka berencana menikah dua bulan lagi.

Aku? Jangan ditanya, menikah belum ada di daftar keinginanku tahun ini ataupun tahun depan.

Setelah menyusun baju di dalam lemari dan menyimpan travel bag dengan rapi, aku memutuskan untuk membersihkan badan terlebih dahulu. Masih ada waktu, kurang lebih satu setengah jam untuk meluruskan punggung.

***

Tepat pukul 14.30 aku sudah duduk manis di Lobby menanti lelaki kasmaran itu. Setahuku Mbak Rima calon istri Mas Galuh bukan orang yang melewati masa pacaran. Terus orang itu ngapain kesana ya?

Pesan whatsapp dari Mas Galuh masuk, memberitahukan kalau  sudah sampai di depan.

“Mas, bukannya Mbak Rima gak mau pacaran, ya? Terus tadi ngapain?” tanyaku penasaran.

“Tadi Mas pacaran ama anak-anak panti, kalau Rima sibuk di dapur siapin makan. Mana mau Mbak-mu itu ketemu berdua sama Mas.”

“Aku ikut kalau Mas Galuh kesana lagi, ya.” Aku belum pernah kenalan secara resmi dengan calon istrinya, mumpung bisa ketemu. Kenapa tidak.

“Oke. Sekarang mari kita bantai itu si bule Itali, biar gak Seenak nya ganti material.” Namanya orang kaya, kalau gak suka ama bahan ini dengan santainya dia 'can you replace this one with this or that?

“Mariii ....” Aku jadi inget dengan Bu Jun yang permintaanya sepanjang jalan kenangan itu.

***

Pukul 20.00 tepat, kami memasuki lobby hotel setelah selesai untuk makan malam, badan serasa lengket karena setengah hari berada di lokasi.

Selama ini aku memang lebih suka jika bisa turun ke lokasi ketimbang terus duduk di kantor. Apalagi harus ke mall yang penuh dengan orang berlalu lalang.
Aneh memang, perempuan kok gak suka ngemall. Sebenarnya bukan gak suka ngemall, aku hanya malas untuk berdandan. Selama ini kalau tahu jadwal untuk seharian harus berada di lapangan, aku lebih suka memakai celana jeans, kaos yang kulapisi dengan kemeja flanel dan sneakers butut yang sudah menjadi incaran Mama untuk dibuang.

Dua Hati [Complete]Where stories live. Discover now