Bab 21

132 16 0
                                    

"Assalamu'alaikum," salamku saat memasuki satu-satunya rumah tempatku pulang saat hati ini gundah gulana. Mama, yang kuinginkan hanya masuk kedalam pelukan hangatnya.
Terdengar jawaban salam dari ruang makan, sepertinya ada tamu.

Saat itulah aku melihatnya disana, duduk dengan nyaman didepan Mama dan Papa. Gadis yang masih membuatku tidak nyaman saat berdekatan dengannya. Anis.
"Wah rame, lho Mbak Anis disini," Setelah mencium dan memeluk Papa sedikit lebih lama saat merasakan usapan lembut dipunggung, aku berpindah ke Mama. Pelukan Mama yang hangat hampir membuat tangis yang kutahan sejak keluar dari hotel jebol kalau tidak ingat ada orang lain di ruangan ini.

"Sst, ... tahan dulu. Ada pacar Mas mu, nanti cerita Mama ya." bisik mama ditelinga yang kujawab dengan anggukan. Setelah beberapa detik mengatur nafas, kulepas pelukan Mama dan beralih ke Mas Bram.

"Hai Mas, missed you." Mas Bram pun memelukku sedikit lebih erat.
"Nanti!" Seperti Mama, diapun membisikkan kata-kata itu di telinga yang kujawab dengan senyuman.

"Hai Mbak," kucium pipi kiri dan kanannya meski sedikit canggung.
"Hai, Di. Kata Mama, pergi keluar kota ya?" Mama! Diapun memanggil ratu dirumahku dengan sebutkan Mama bukan Tante. Ada sedikit cubitan terasa dihatiku saat mendengarnya memanggil Mama.

"Eh, iya Mbak. Ini barusan nyampe, kangan masakan Mama."
"Adek!" tegur Mama saat melihatku bersiap untuk duduk dan makan.
"Iya iya Ma. Aku tinggal dulu ya Mbak." Godaan meringkuk dan menangis dibalik selimut begitu aku memasuki kamarku dirumah ini. Jika saja telpon selular di kantong celanaku tidak berbunyi pasti aku sudah melakukannya.

Kulihat nama Mas Andy muncul,
"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumusallam Sayang, barusan sampai rumah?" Aku masih belum terbiasa sapaan sayang keluar dari mulutnya.

"Hmm, ini baru bersih-bersih. Biasa ... Mama kan gak suka kalau anaknya barusan datang langsung main nyosor makanan gitu." Suara tawa masuk ke telingaku, menghantarkan rasa rindu yang membuat tetesan lembut mengalir dari kedua mataku.

"Sayang, kamu nangis?"

"Kangen." Jawabku singkat. Jawaban Mas Andy membuat tangisku berubah jadi tawa.

"I'm coming!" Tanpa salam dan kata-kata penutup sambungan telpon ini terputus. Ternyata jatuh cinta membuat manusia jadi konyol.

Setelah bersih-bersih dan mengganti baju dengan rok sepanjang lutut dan kaos bergambar panda yang kubeli di salah satu gerai kaos saat jalan-jalan te Tamansari tahun lalu aku turun menemui mereka yang sepertinya asik bercanda di meja makan.

"Ma, Mas Andy mau kesini." kataku sambil mengisi piring dengan nasi, sayur asem, empal daging dan sambal juara bikinan Mama.

"Adek, kurangi sambalnya!" Padahal aku hanya mengambil setengah sendok teh sudah membuat Mama marah.

"Maa, cuma dikit ini." Protesku, aku benar-benar pengen makan yang pedas saat ini.

"Lho, bukannya dia udah berangkat?" tanya Papa.

"Besok pagi, Pa." Kulihat raut muka kekasih Mas Bram agak berubah, terlihat sedih. Apakah dia bersedih karena Mas Andy mau pergi atau sedih karena melihat aku menceritakan tentang  dia yang sepertinya masih mengisi relung di hatinya.

Aku semakin curiga bahwa Anis memang menaruh hati pada Mas Andy. Setelah mendengar aku menyebut nama lelaki yang sudah resmi menjadi kekasihku, dia terlihat seperti orang yang tidak berselera makan.

"Gak enak ya Mbak masakannya?" Sengaja aku menanyakannya, enak saja mengaduk aduk makanan begitu. Sepanjang hidupku, masakan Mama adalah masakan paling enak yang pernah kumakan.

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang