Bab 36

145 14 0
                                    

Dari tempat dudukku, terlihat Mas Bram dan perempuan itu duduk di kursi di dekat pintu. Sepertinya mereka terlibat sebuah percakapan yang serius. Berkali-kali kulihat perempuan itu menggapai tangan mas Bram, tapi selalu ditepis dengan halus oleh lelaki itu.

Aku tersenyum. Entah kenapa aku merasa senang saat lelaki itu menolak perempuan itu, meski ada sedikit nyeri di dada saat melihat mereka duduk berhadapan seperti itu.

"Kalian baru kenal beberapa bulan saja. Apa yang membuatmu yakin untuk menerimanya menjadi pasangan hidupmu?" tanya salah satu sisi batinku.

"Dia baik. Dia juga bertanggung jawab," jawab sisi satunya.

"Tapi, baik dan bertanggung jawab tak bisa menjadi jaminan bahwa dia adalah pasangan yang tepat untukmu. Bagaimana kau bisa meyakinkanku untuk tetap menerimanya?"

"Memangnya kriteria apa yang kamu inginkan?"

"..."

Dia terdiam. Mungkin dia juga bingung, kriteria apa yang diinginkannya.

🍁
🍁🍁
🍁🍁🍁

"Sumpah,Nis. Aku sudah putus sama Nindy." Wajah frustasinya membuatku menahan tawa. Semoga hidungku tidak terlihat kembang kempis, jadi aku tidak akan ketahuan kalau sedang pura-pura marah padanya.

Memang setelah mengamati beberapa saat percakapan mereka, aku jadi punya inisiatif untuk menggodanya. Yah, sekedar ingin tahu saja, seberapa jauh perasaanku dan perasaannya. Aku belum merasa terancam dengan kehadiran Nindy. Apakah aku memang benar-benar mempercayainya? Atau aku belum benar-benar sayang padanya? Let's see.

"Oh, jadi dia yang namanya Nindy?" tanyaku pelan, kuseruput jus mangga di hadapanku. Kubuat tatapanku tajam, setajam silet.

"Iya," jawabnya pelan. "Tapi ...."

"Tapi, kamu masih sayang, kan sama dia?"

"Enggak." Suaranya agak meninggi.

"Kenapa jadi Mas Bram, sih, yang marah?" Aku masih berusaha memelankan suaraku.

"Kamu ...."

"Harusnya, kan, aku," potongku cepat. "Aku yang harusnya marah, karena Mas Bram sekarang sudah jadi calon suami aku, tapi malah dibilang selingkuhannya dia." Aku melotot tajam ke arahnya. Aktingku lumayan juga ya? Semoga aku masih bisa menahan tawa. Wajahnya memerah menahan amarah. Tapi, kenapa jadi kelihatan laki banget.

"Aniiiis, please ...." Suaranya memelas, "Aku dan Nindy tidak ada apa-apa. Dia memang tidak terima aku putuskan, tapi aku sudah tidak ada perasaan apa padanya."

"Yakin?" tanyaku melembut. Dia menatapku tak percaya. "Tuh, kan. Jawabnya pake mikir," ketusku.

"Eh, yakin. Seratus persen, YAKIN!" Aku menghela napas panjang.

"Ya sudah, kalau memang tidak ada apa-apa."

Mas Bram menatapku lega. "Beneran, kan? Ga marah lagi, kan?"

"Siapa bilang aku ga marah lagi?" tanyaku dengan mimik kubuat secemberut mungkin, sebenarnya aku sedikit geli, tapi aku juga masih penasaran, bagaimana dia akan menghadapi aku yang marah.

"Lho, tadi bilangnya ...." Kulihat dia menyugar kasar rambutnya. "Ah! Terserah lah."

Dia mulai menyantap makanan yang sudah kupesankan. Seporsi sate ayam kesukaannya. Pelan-pelan, aku pun kemudian ikut menyantap makananku sambil tetap mengamati sikapnya.

Beberapa menit kami sama terdiam. Dengan dalih menikmati makanan, kami tidak berusaha untuk saling bicara.

"Jadi ... ada perlu apa Nindy kesini?" Aku akhirnya memulai percakapan ketika kulihat dia mulai meminum jus sirsatnya.

Dua Hati [Complete]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora