Bab 18

120 15 2
                                    

Sabtu pagi ini, kembali si Mas Bramantyo berulah. Tanpa aba-aba satu dua tiga maupun ciluk ba, dia tiba-tiba muncul di depan pintu ruang tamuku. Tentu saja aku yang saat itu masih memakai piyama dan kerudung seadanya jadi kaget, spontan kututup pintu tepat di depan hidungnya. Hingga ayah yang tengah duduk di ruang tengah bergegas menghampiriku saking kerasnya suara debam pintunya.

"Siapa, Nis?" tanya ayah keheranan melihatku kebingungan.

"Eh, anu ... itu ...." Aku menunjuk pintu dengan ragu. "Ayah saja yang bukain, ya?" Aku merajuk mendekati ayah. Beliau hanya mengernyitkan kening sambil menggeleng pelan.

Aku berlari menuju kamar untuk mandi dan berganti baju. Ngapain, tuh, cowok sepagi ini sudah ada di sini? Gusar hatiku.

Setengah jam kemudian, aku sudah rapi dan bergegas keluar kamar. Apa si Mas masih di sini ya? Aku berjalan pelan ke arah ruang tamu. Sepi, tak terdengar suara siapapun. Ah, mungkin dia kelamaan menungguku lalu balik duluan. Hem, gak sabaran banget. Tanpa sadar, aku menghela napas kecewa. Aku pun berbalik hendak ke belakang mencari ayah.

Bruk!!

"Astaghfirullah!" Aku hampir terjatuh saat membalik badan dan menubruk seseorang yang berdiri di belakangku. Tangannya mengulur ke pinggangku dan menahan tubuhku agar tidak menyentuh lantai.

"Mas Bram!" Spontan kudorong tubuhnya menjauh setelah aku berhasil menguasai keseimbanganku. Posisi tadi, membuat wajahku merona.

"Dua kali," ujarnya memprotes sikapku.

"Apanya?" tanyaku pura-pura tidak mengerti.

"Nona cantik ... kamu sudah dua kali melakukan kesalahan padaku pagi ini. Tapi, karena aku ini orang ganteng dan baik hati, maka akan kumaafkan." Haduh! Mulai, deh.

"Terima kasih Pak Bram, atas kemurahan hatinya," jawabku sedikit sarkas.

"Sama-sama. Itu sudah biasa." Senyumnya sangat manis, membuat aku sejenak terpana. "Wah, kamu memang luar biasa. Bagaimana aku tidak memaafkan kesalahanmu menutup pintu di depan hidung bangirku, bila kamu akhiraq qqapa rnya tampil cantik mempesona seperti ini." Tangannya bersedekap di depan dada, matanya mengerling jahil, senyumnya melebar.

"Nak Bram. Mau pergi sekarang?" Kudengar suara ayah di balik punggungnya.

Dia berbalik dan mengangguk sopan.

"Iya, Om. Saya minta izin, mengajak Anis, ya, Om. Saya sudah terlanjur janji dengan Papa dan Mama untuk mengenalkan Anis pada mereka sedari sebulan yang lalu. Anis selalu menolaknya. Saya sudah tidak tahan lagi, sepertinya dengan begini, dia tidak akan bisa menolaknya."

Apaaaaa?? Jadi aku mau diseret ke rumahnya? Eh, kenapa ayah malah senyum-senyum gitu? Ayah tolong, jangan bilang, ayah juga bersekutu dengannya? Aku memandang sendu pada ayah. Namun, beliau malah tertawa terbahak melihatku cemberut. Ya, nasib ....

Dan, sekarang. Di sinilah aku, duduk manis di sebelah sopir terganteng sepanjang masa, katanya. Huh!

Aku tak banyak bicara selama di mobil. Ingatanku melayang menuju saat terakhir kami bertemu minggu lalu.

"Adikmu?" tanyanya terkejut. Aku mengangguk lalu membalas tatapan matanya.

"Ada yang harus Mas tahu sebelum kita melangkah lebih jauh." Aku berhenti sejenak, berharap dia akan memotong pembicaraan seperti biasanya. Namun, perkiraanku salah. Dia hanya diam menungguku melanjutkan penjelasanku.

"Aku ... dulu mempunyai seorang adik perempuan, tapi kami terpisah saat usiaku 5 tahun dan dia 3 tahun. Kami melepasnya karena ingin membantu salah satu keluarga teman ibu yang kehilangan putrinya dalam kecelakaan ketika berwisata. Aku tidak ingin mengambil dia kembali, aku hanya ingin bertemu saja. Aku ingin tahu, bagaimana keadaannya. Apakah dia baik-baik saja? Secantik apa dia? Apa masih suka bawel seperti saat kecil dulu?" Aku berceloteh sembari tersenyum mengingat masa-masa kecilku bersamanya. Ada keharuan dan kerinduan yang teramat dalam pada sosok gadis cilikku. Tanpa terasa mataku menghangat, sebutir airmata lolos dari sudut mataku.

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang