Bab 32

123 19 0
                                    

"Capek, ya?" tanya Mas Bram ketika aku merebahkan kepala ke sandaran kursi di mobilnya setelah Dini memaksanya mengantarku pulang malam ini.

"He-em. Tapi aku seneng banget. Seneng, haru, sedih, takut." Aku menerawang menatap langit malam yang semakin kelam.

"Kok sedih?"

"Aku sedih karena tidak melihat dia tumbuh selama ini. Aku takut, dia menyalahkan orang tuaku karena telah memisahkan kami. Selama ini, Ayah dan Ibu sering menahan tangis di depanku. Padahal ...."

"Tidak ada yang akan menyalahkan kalian," potongnya tegas, "Kalaupun ada, malah harusnya kami yang disalahkan karena telah membuat kalian bersedih." Aku menggeleng pelan.

"Mas. Ingat, nggak, dulu pernah bertemu dengan seorang anak perempuan berkepang yang menggandeng adiknya sambil menenteng tas kecil di tangannya?"

"Hahaha. Anak kecil yang kemudian marah-marah karena ternyata adiknya lebih memilih bermain dengan anak laki-laki yang baru datang dan dikenalnya." Mas Bram mengacak kepalaku. Aku tertawa mengingat hal itu.

"Aku, tuh, waktu itu sebel banget sama anak laki-laki itu. Masa Syifa lebih milih main traktor sama dia daripada main boneka sama aku. Ketawa-ketawa lagi. Sebel, sebel." Mas Bram semakin keras menertawakanku. Aku semakin cemberut.

"Tapi, Mas. Syifa tidak pernah merepotkan kalian, kan?"

"Tentu tidak, Sayang. Kamu tahu, sejak Dini, eh Syifa, datang. Mama jadi lebih banyak tertawa. Beliau juga mulai bisa menerima kenyataan, bahwa putrinya telah tiada dan kini digantikan dengan Dini."

Aku menatap Mas Bram dengan pandangan haru.

"Dini adalah wanita luar biasa. Dia memang kelihatan tomboy, tapi hatinya sangat lembut. Sifat cerianya lah yang membuat kami selalu merasa bahagia. Terima kasih, terima kasih karena telah mengihlashkan Dini buat kami." Aku tersenyum menatapnya, rupanya lelaki ini mulai bisa memasuki ruang di hatiku. Pelan namun pasti dia mulai membuatku semakin jatuh dalam pesonanya.

"Alhamdulillah. Ibu dengar, kan? Syifa memang luar biasa. Dia adalah wanita yang tangguh, setangguh ibu yang telah mengandungnya."

"Tidurlah. Nanti kalau sudah sampai aku bangunkan," ucap mas Bram lembut. Aku menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, aku pun terlelap dengan tenang.

🍁🍁🍁🍁

"Ayah. Kok, sudah rapi sepagi ini? Mau kemana?" Aku menatap heran pada ayah yang terlihat rapi dan bersemangat. Wajahnya nampak  bersinar, bahagia.

"Ayah mau ke rumah sakit," jawabnya dengan semangat.

Aku menatap jam di dinding, masih jam 06.30, sedangkan aku saja masih nyaman dengan daster selututku.

"Ini masih pagi banget, loh, Yah." Ayah tertawa ringan.

"Justru itu, Ayah ingin melihat putri Ayah terlelap, lalu perlahan membuka matanya." Ayah menerawang sambil tersenyum bahagia.

Aku melangkah mendekati ayah. Kupeluk erat tubuhnya yang mulai terlihat ringkih, meski sisa-sisa kekar masih terasa disana.

"Baiklah, Ayah. Nikmatilah saat-saat itu, saat dimana kita belum pernah merasakannya sebelumnya. Sampaikan rasa itu pada Ibu yang pasti juga sangat merindukannya." Ayah mengusap ujung matanya yang berkeringat.

"Ayah masih terlihat tampan, kan?" Aku tertawa mendengar candanya.

"Tampan banget. Anis jamin, Dini pasti terkiwir-kiwir sama Ayah."

"Hahaha, kamu bisa aja."

Tiiin!!

"Eh, itu pasti ojek online yang Ayah pesan."

Dua Hati [Complete]Where stories live. Discover now