Bab 6 - Anisa

144 19 4
                                    


Aku masih berdiri di depan ruanganku seusai menemui manager tadi. Tiba-tiba aku merasa pengap. Setelah hampir tiga tahun menempati ruang sama, kenapa aku baru merasakannya sekarang?

"Apa aku bilang. Minimal kasih AC, lah, Mbak." Agung mengagetkanku dari belakang.

"Astaghfirullah! Kamu lagi, kamu lagi!" bentakku sambil melotot padanya.

"Ya Allah, Mbak. Hari ini banyak banget ngelamun. Sudah tiga kali, loh. Sekali lagi, aku bakal dapat hadiah piring cantik kayaknya." Seharusnya, kan, aku yang ngomel, kenapa jadi dia yang sewot?

Aku geleng-geleng melihat tingkahnya.

Aku akan cari seseorang yang bisa membantuku merenovasi ruanganku. Atau mungkin, aku pindah saja ke lantai dua yang sekarang lebih banyak digunakan untuk gudang.

🌸🌸🌸🌸🌸

Aku duduk di teras belakang, secangkir hot lemon tea menemaniku menikmati pagi ini. Kulihat ayah masih asyik bergumul dengan tanaman-tanaman di kebun belakang. Kebun mungil yang digunakan untuk membunuh rasa bosannya. Meski tak luas, tapi banyak yang sudah dihasilkannya. Cabe, terong, tomat, jeruk, dan banyak sayur-sayuran yang lain. Ayah memang hebat.

"Ayah, lagi ngapain, sih?" Aku berjalan mendekatinya.

"Nanam sawi."

"Banyak banget, emang ga capek, Yah?"

"Capek, tapi Ayah senang," jawabnya sambil terkekeh. Beliau mengusap peluh yang menetes di dahinya.

"Ayah, sudah makan?"

"Sudah, tadi siang."

"Mau Anis bikinkan susu?"

"Nggak usah. Kayak bayi aja," tolaknya halus.

"Bukan susu bayi, Yah. Susu buat tulang ini, loh." Aku mengetuk lutut ayah. Beliau hanya tertawa melihatku cemberut.

"Daripada duitnya buat beli susu, mending buat cari mantu buat Ayah," kata ayah menggodaku.

"Hadeeuuh, mulai, deh." Aku memutar bola mata jengah dengan bahasan mantu, mantu, dan mantu. Bukannya aku nggak ingin menikah, tapi sebelum itu, aku harus menemukan Syifa--adikku.

"Anis. Usiamu sudah cukup untuk menikah. Kita juga cukup mapan. Apalagi yang kau tunggu?" Ayah menatapku lembut.

"Aku mau mencari Syifa dulu, Yah."

"Mencari dimana?"

"Entahlah. Tapi aku yakin, aku pasti bisa menemukannya," kataku yakin.

Ayah menghela napas berat, beliau berkata, "Sudah dua puluh tahun berlalu. Apa kita bisa mengenali wajahnya meski kita bertemu suatu hari nanti?"

Aku meraih tangan ayah. "Anis yakin, pasti bisa."

Ayah menatapku haru. Berkali-kali membahas Syifa selalu berakhir dengan tetesan airmata kami. Betapa besar penyesalan kami telah melepas gadis kecil itu dulu. Tapi, semua sudah terjadi. Mungkin itulah yang terbaik menurut Allah.

"Ah, sudahlah. Kita jalan-jalan, yuk." Ayah menggeleng pelan.

"Ayah masih mau disini. Kalau tidak segera dipindah, nanti sawi-sawi itu akan layu," tolak ayah halus.

"Baiklah. Tapi, aku pengen jalan-jalan, nih, Yah."

"Kenapa nggak minta Andy mememanimu?"

"Ah, iya." Aku bersorak dalam hati. Mungkin ada kesempatan buatku menarik hati Andy.

🌸🌸🌸🌸🌸

Kami sudah berkeliling di Galaxy Mall ini hampir dua jam. Setelah membeli beberapa keperluan, aku mendekati Andy yang sepertinya sedang kebingunan di depan rak aksesoris wanita.

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang