-2-

2.4K 446 101
                                    

"Baik, sekarang kau sudah melihatku," ucap Seokjin pelan, seketika membuyarkan segala lamunan Namjoon. Pria itu lalu menatap Seokjin sendu.

"Terima kasih sudah mengunjungiku. Ini sudah larut malam, sebaiknya kau pulang saja." lanjutnya sembari mengalihkan pandang ke arah jendela besar dalam gereja itu.

Kaca patri pada jendela itu bertaburan kelap-kelip warna warni, nampak sangat indah di timpa oleh cahaya rembulan. Kedua iris kelam itu kemudian teralihkan kepada bayangannya di sebuah cermin besar yang tergantung di dekat pintu keluar.

Namjoon tersenyum miris, jelas sekali Seokjin tengah mencoba untuk mengusirnya dari sini secara halus. Ia mengutuki dirinya yang tak bisa menahan diri dan membuat pemuda itu merasa tak nyaman.

Ia menyesali perbuatannya tadi. Tak seharusnya ia menangkup wajah pemuda itu dan membelainya sedemikian rupa. Seokjin pasti risih sekali padanya saat ini.

Namjoon menghela nafas, "Baiklah, aku permisi," balasnya dengan senyum pedih terlukis di wajah, "Maafkan aku yang sudah mengganggumu, Father. Selamat malam." lanjutnya sembari membalikkan tubuhnya, ingin menjauh dari sana dan menuju ke arah pintu.

"Tunggu," seru Seokjin cukup kencang, sanggup membuat kaki panjang Namjoon berhenti seketika. Namjoon kembali berbalik dan menatap Seokjin bingung.

Ia melihat sang pastur berjalan mendekatinya dengan perlahan, hingga akhirnya pemuda itu berhenti di depannya dan menelisik setiap sudut wajahnya. Namjoon mengernyit tak mengerti.

"Wajahmu pucat, apa kau sedang sakit?" tanya Seokjin lembut, sebelah tangannya terangkat dan dibawanya menuju kening pria itu, "Kau dingin sekali." ucapnya khawatir, raut wajahnya nampak gelisah.

Namjoon yang melihat kekhawatiran pemuda itu segera tersenyum kecil. Dadanya bergemuruh, aliran darahnya berdesir nyaman. "Aku tidak apa-apa, Father. Tidak perlu khawatir." balasnya meyakinkan.

Seokjin menatapnya bingung, "Tapi wajahmu pucat sekali. Kau pasti sedang tidak enak badan, kan?" cecar Seokjin lagi, mengambil kembali tangannya yang tadi bertengger manis di kening pria itu.

Namjoon sedikit kecewa tatkala kehangatan tangan ringkih itu pergi menjauhinya. "Aku hanya.. belum makan apa pun selama satu minggu." balas Namjoon pelan, berusaha terdengar sewajar mungkin.

Seokjin mengerjap sejenak, "Kau berpuasa? Kenapa tidak makan sama sekali?" tanya Seokjin lagi, raut khawatir tak juga pergi dari wajah indahnya.

Namjoon membalas pertanyaan itu dengan sebuah senyum getir, "Entahlah, tapi aku merasa.. aku takkan bisa makan apa pun lagi saat ini," jawabnya pedih.

"Ketika aku makan, aku tak sanggup menelannya dan semuanya keluar begitu saja. Aku memuntahkannya kembali." jelas pria itu sembari menatap wajah Seokjin sendu. Terbesit secerca rasa senang tatkala ia mendapati bahwa pemuda itu mengkhawatirkan keadaannya.

"Apa kau merubah pola makanmu?" Seokjin kembali bertanya.

Namjoon tak sanggup menahan dirinya untuk tidak memandangi setiap jengkal keindahan wajah di hadapannya itu. Bahkan penciumannya yang tajam sudah sedari tadi mengendusi wewangian harum bunga lembut yang mengitari tubuh Seokjin.

Namjoon berusaha tetap berpegang pada kewarasannya yang tersisa, "Tidak. Aku makan seperti biasanya. Hanya saja, ku pikir aku sudah tak bisa makan seperti dulu lagi." katanya sedih, ia meringis pelan.

Benaknya segera terlempar pada kejadian dimana ia kembali memuntahkan darah-darah anyir yang di perolehnya dari manusia lain. Demi apapun, Namjoon merasa mual seketika walau hanya membayangkannya.

Usai bertemu dengan Seokjin di hutan malam itu, dia memutuskan untuk mencoba berburu seperti biasa. Namun naas, ketika ia akan menggigit leher manusia malang itu, hidungnya tak sanggup untuk mencium aroma darah yang menguar dari si manusia. Tapi persetan, ia haus sekali saat itu. Jadi Namjoon berusaha menahan nafas dan langsung membenamkan taringnya pada permukaan kulit makhluk malang itu dan segera menyesap darahnya.

TABOO - NamJinМесто, где живут истории. Откройте их для себя