-9-

1.9K 383 97
                                    

Semilir angin berhembus perlahan, menerbangkan dedaunan kering rontok di sepanjang jalan. Matahari senja turut hadir, tergantung menghiasi langit, menyebarkan semburat jingga kekuningan yang menyebar di atas sana.

Dan saat ini, Namjoon tengah membawa langkah kakinya yang terasa sangat berat itu menyusuri jalan setapak kecil yang di batasi oleh pepohonan hutan yang begitu lebat. Wajahnya kian memucat, sekujur tubuhnya terasa begitu sakit, namun ia tetap keras kepala dan memaksakan kakinya untuk bergerak.

Sepasang iris ruby nya menangkap keberadaan gedung besar sebuah gereja yang sudah semakin dekat. Langkah kakinya terseok-seok, nafasnya tersengal-sengal, aliran darah hitam yang berada dalam tubuhnya semakin berdesir deras. Namun seolah tak peduli, ia terus memaksa indera geraknya untuk membawanya sampai pada tujuan di ujung sana.

Namjoon saat ini sudah berdiri di depan gedung gereja itu. Suasana sekitar terasa sangat sepi mengingat ini bukanlah hari minggu, dimana biasanya akan ramai oleh sekelompok manusia yang datang untuk beribadah di sini. Itu hal bagus, semakin sepi maka semakin baik pula. Itu artinya, ia bisa mengintip Seokjin dengan aman dan damai.

Matanya bergerak liar, ia mencoba menelisik keberadaan sang pastur muda yang telah menjadi tersangka atas kacau balaunya isi kepalanya selama satu minggu belakangan ini.

Jengah karena tak mendapatkan jawaban yang ia inginkan, Namjoon mencoba mengintip dari balik sebuah kaca jendela besar. Ia berusaha menjulurkan kepalanya dengan susah payah, mencoba mendapatkan sudut pandang mengintai yang pas namun yang di perolehnya hanyalah ruangan dalam gereja yang kosong melompong.

Kemana pastur itu pergi?
Apa dia sedang berada di dalam kamarnya saat ini? Apakah Namjoon harus masuk kesana, mengendap-endap seperti seorang pencuri dan mengintipnya dari balik pintu kamarnya?

"Namjoon?"

Suara merdu yang terus mengitari isi otaknya selama ini, kini terdengar dari balik punggungnya. Namjoon sontak saja berjengit kaget dan tubuhnya menegang parah. Matanya membelalak. Ia terkejut, namun tak mau membalikkan tubuhnya.

Namjoon yakin itu alunan suara Seokjin. Ia bahkan sudah begitu hapal nada bicara pastur itu. Ia tak mau menoleh, hatinya belum siap. Sial sekali, kenapa Seokjin malah memergokinya di saat seperti ini?

Terdengar suara derap langkah kaki yang semakin mendekat dengan posisinya berdiri. Kemudian tak lama dari itu, sebuah tangan hangat menyentuh pundaknya lembut. "Namjoon? Kenapa tidak masuk saja ke dalam?" tanya suara itu lagi, berusaha meminta perhatian dari vampire yang sedang tak tentu arah itu.

Sentuhan pada bahunya kini berubah menjadi usapan pelan, seketika membuat sekujur tubuh Namjoon bergidik. Dengan rasa ragu yang amat sangat, ia membalikkan tubuhnya perlahan-lahan.

"Father." sapa Namjoon seadanya. Ia masih enggan menatap wajah lawan bicaranya itu. Ia menundukkan kepalanya ke bawah.

Seokjin tersenyum melihat atmosfir canggung yang sedang menyapa mereka berdua saat ini. Tangannya kini beralih untuk memegang lengan kekar pria itu, "Kemana saja dirimu? Kenapa baru kemari?" tanya pastur itu lagi, nada sabar luar biasa masih terus mengalun dari bibirnya.

Namjoon menggigit bibir bawahnya kikuk. Ia bingung, ia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Seokjin. Apakah Namjoon harus jujur jika ia telah mengurung diri di kamarnya selama seminggu penuh? Yang benar saja, itu terdengar sangat payah sekali.

"Hei," tegur Seokjin pelan, ia menyentuh rahang dagu Namjoon dan mendongakkannya sedikit agar bisa menatap wajahnya dengan benar, "Kenapa diam saja? Kau pasti lapar sekali, ya?" ucapnya sembari menyunggingkan sebuah senyuman kecil.

Namjoon meneguk ludahnya lamat-lamat. Lapar? Hell, ya tentu saja dia lapar. Bahkan lapar setengah mati. Tenggorokannya begitu kering, belum di aliri darah apa pun selama seminggu ini. Rasa haus darah yang memusingkan ini semakin membuatnya gila dan mengancam akan segera mengambil alih seluruh sisa kewarasannya.

TABOO - NamJinWhere stories live. Discover now