-26-

2.2K 306 104
                                    

"Hei, bisakah kau melempar bola itu pada kami?" teriak seorang anak pada anak lelaki lain yang sedang berdiri tak jauh darinya, "Ah, mengapa kau merenung sendirian disana? Ayo ikut bermain bersama kami." timpalnya sembari menyunggingkan seulas senyum.

Anak itu memandang bola tersebut lama hingga akhirnya memutuskan untuk memunguti bola itu. Baru saja ia akan bergerak maju dan mengembalikan bola tersebut pada kerumunan anak lain diseberang sana, sebuah suara menggelegar menghentikan perbuatannya.

"Anak-anak, mengapa kalian bermain didekat sini?! Bukankah ibu sudah pernah melarang kalian untuk menjauhi tempat terkutuk ini?! Mengapa kalian tidak menurut?!" seru seorang wanita yang nampaknya merupakan ibu dari kerumunan anak tersebut. Ia berkacak pinggang, raut wajahnya sinis sekali, matanya memicing tajam—sarat akan kebencian.

"Ah! Apa kan ibu bilang? Anak iblis itu juga sedang berada disini! Ayo pulang! Bubar semuanya! Kalian tidak boleh lagi bermain disekitar sini. Ibu tidak ingin kalian semua berinteraksi dengan anak iblis itu! Malapetaka dan ketidakberuntungan pasti akan segera menimpa kita!" teriaknya sembari menunjuk-nunjuk si anak diseberang sana yang sedang memegang bola ditangannya erat-erat.

"Ibu, mengapa ibu berbicara seperti itu? Mengapa anak itu tidak boleh ikut bermain? Bukankah ia sama seperti kami?" tanya seorang anak lain, wajahnya menyiratkan kebingungan yang teramat sangat.

Sang ibu menggelengkan kepalanya kasar. Ia mulai mengamit tangan anak-anaknya dan menggiring mereka menjauh dari tempat itu. "Jangan berbicara yang tidak-tidak. Tentu saja kalian semua berbeda dengan anak itu. Anak itu adalah anak iblis. Dia sangat berbahaya dan menjijikkan. Kalian tidak boleh dekat-dekat dengannya. Jangan membantah lagi! Ibu tak ingin kalian semua bernasib buruk."

.
.

I can't pretend that I'm okay.
I can't fake it anymore.
I feel hopeless, helpless, useless
and I'm afraid that I'll never get better.
I'm worried that I'll hate myself further more.

.
.

"Mengapa mereka membenciku, Lilith? Apa yang telah aku lakukan sehingga mereka memperlakukan aku seperti ini?" bisik anak itu sembari memandangi bola yang tadi sudah dipungutnya.

"Berbahaya? Menjijikkan? Apa.. Apakah itu semua benar adanya? Aku—" gumamnya sedih, sorot matanya sendu, seakan tengah mencoba mengungkapkan segala kepiluan yang menderanya saat ini.

"Ah, jangan terlalu dipikirkan, Seokjin. Mereka hanya iri kepadamu, sayang. Kau ini adalah anak yang sangat istimewa. Mereka semua hanyalah sekumpulan manusia bodoh yang menyedihkan. Selamanya, mereka tidak akan pernah bisa mengerti keunggulan yang kau miliki." balas seorang wanita lembut, suaranya begitu merdu dengan nada yang sangat menenangkan, "Aku menyayangimu, tidak seperti mereka. Kau memilikiku. Kita saling memiliki dan itu sudah cukup."

"Kau.. Menyayangiku? Benarkah?" tanya anak itu sembari mendudukkan diri disebuah kursi panjang yang terletak persis dibawah pohon besar. Ia mendongakkan kepalanya keatas, menatap ranting-ranting dan dedaunan rimbun yang bergerak tertiup angin.

"Apa yang sedang kau bicarakan, Seokjin? Jangan konyol. Tentu saja hal itu benar. Bukankah aku selalu bersamamu setiap waktu?" jawab wanita itu lagi, terselip semacam nada kebanggaan dalam kata-katanya.

"Aku tidak mengerti. Mengapa paman aneh itu mengajakku pergi dan membawaku kesini? Tempat ini mengerikan. Orang-orang menatapku dengan sorot mata penuh kebencian. Aku merindukan kamar sempitku yang gelap dan pengap itu. Aku ingin kembali." ucapnya sedih. Ia menaikkan kedua kakinya keatas kursi tersebut lalu memeluknya. Kepalanya ia tenggelamkan diantara lipatan lengannya sendiri.

TABOO - NamJinWhere stories live. Discover now