meet

33K 3.6K 588
                                    

Pada sore hari itu, ibukota Jawa Barat, Bandung diguyur hujan. Tak terlalu lebat namun cukup membangun suasana sendu bagi si pecinta sajak. Tapi tidak untuk para remaja laki-laki yang tengah berkumpul seraya bersenda gurau di depan cafe pinggir jalan dengan terpal biru yang melindungi.

Bukan cafe juga, sih. Keelitan, mungkin? Itu hanya warung kopi dalam versi jadi tongkrongan anak-anak muda yang irit budget untuk sekadar menyesap kopi di cafe mall.

Senyuman merekah sedaritadi. Percikan air yang disebabkan benturan hujan dengan tanah pun tak lagi menjadi penghalang.

Asalkan kepala aman dan nggak basah kuyup, its okay, lah. Itulah prinsip mereka.

Si satu melontarkan candaan, yang lain tertawa bahagia seakan tak ada lagi hari esok. Mereka berkumpul untuk berbagi kebahagiaan bersama, hari ini, waktu ini, detik ini. Saja.

"A' Mark, punten nya. Itu jenggot geus kayak Pepi, dicukur atuh a. Geli abdi liatna," ujar salah satu dari mereka mengundang gelak tawa lagi.

Sang korban nistaan hanya bisa mengelus dagunya yang memang sudah 'sedikit' muncul bulu bulu halus sambil bergumam, "sialan."

Padahal belum sepanjang Pepi, temannya saja yang hiperbola.

Sayangnya suara tawa mereka terinterupsi ketika seorang perempuan menghampiri dengan kaos lusuh dan beberapa piring pada nampan yang dibawanya.

Diam-diam oknum yang disapa 'Mark' mengelus dada tanda lega. Dirinya tak lagi jadi bahan nistaan.

“Permisi, ini makanannya.”

Hal itu sontak membuat suasana tambah riuh. Maklum, ya. Namanya juga remaja.

“MAKANAN UDAH DATENG, NIH. AYO AYO KUY MAKAN!”

“Berisik, Ciko! Malu dilihatin orang. Kayak orang nggak pernah makan aja!”

Orang yang ditegur Jovian itu sedikit terkesiap mendengarnya. Dilihatnya laki-laki yang satu tahun lebih tua darinya itu sudah menutupi mulut dengan jemarinya. Kemudian Ciko tersenyum. “Loh? Aku kan memang nggak pernah makan? Makanya ayo makan!” riangnya.

Suasana mendadak canggung, namun kembali seperti semula sesudah Ciko kembali mengajak bersantap ria.

Suara deru langkah kaki dengan percikan air yang mengiringi kembali mengalihkan atensi mereka dan mendapati Hardian yang baru datang dengan keadaan yang basah kuyup dan senyuman yang berlawanan dengan sang langit, bersinar bak mentari.

“Sorry telat, guys. Macet tadi, hehe.”
Tanpa dipersilahkan, laki-laki berkulit kecoklatan itu langsung duduk di antara Januar dan Mark yang tengah bersantap dengan nikmat.

“Rese’, nih!” Pelik Januar namun tetap saja dirinya menggeser bokong, memberikan space untuk Hardi. Sedangkan Mark hanya tersenyum tipis dan turut menggeser bokongnya.

Yang diomeli hanya cengengesan dan meraih sebuah piring berisikan nasi goreng pete yang memang sudah dipersiapkan untuknya. Namun terhalang saat Jian menarik kembali piring tersebut.

“Kata siapa ini buat abang? Ini mau Jian kasih ke kucing,” ujar Jian mengundang gelak tawa dari lainnya.

Hardi hanya bisa misuh-misuh di tempat. Udah basah kuyup, lapar, mau makan pakai diledek dulu pula. “Udah basah nih, gue. Gak kasian, gitu?”

Jian menggeleng tanpa ragu membuat Hardi tambah misuh di tempat. “Bodo ah. Hardi pundung. Hardi ngambek. Hardi mau nangis aja. HUHU....” Hardi pura-pura nangis namun matanya sesekali melirik pada nasi goreng petenya yang terliat amat menggiurkan.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now