finding

6.9K 1.5K 91
                                    

"Astaga, kemana?"

Gumaman resah mengudara pada ruang hampa, yang tentu saja hanya dibalas si angin lalu. Si puan sibuk mondar-mandir pada lantai sepijak antara sofa usang dan meja rapuh. Tak lupa, menggigiti kuku jemari telunjuk tanda ia tak menahu.

Mata jelaga berhiaskan lebam di tepi miliknya melirik pada jam dinding yang terpaku.

Sudah hampir 24 jam. Astaga....

Tak bisa tinggal diam, tungkainya melangkah cepat menyambar jaket usang yang sudah kekecilan lalu keluar dari sana. Tak mengunci pintu karena barangkali yang ditunggu pulang nanti.

Menusuri jalan setapak yang terhimpit rumah-rumah reot peninggalan jaman kolonialisme. Entah apa kisah yang pernah terlukis di sana, ia tak mau tahu.

Mata sayunya memandang lurus dan fokus pada yang ditapaki, berusaha tak acuh pada suara-suara tanpa peraga utuh yang sedaritadi berkicau, memancing tuk sekadar mendekat.

Hardi masih ingat. Waktu kecil dulu, ada nenek-nenek yang tiba-tiba memegang bahunya seraya berucap, "Kamu itu spesial. Bisa melihat makhluk tak kasat mata."

Tapi menurut Hardi, itu sama sekali tidak spesial.

Yang spesial itu, dirinya masih memiliki Ayah yang amat ia sayangi. Itu baru spesial. Sangat spesial.

Kedua gendang telinga disambut riuh hiruk pikuk warga Bandung yang lebih aktif pada malam hari sekeluarnya dari jalan tadi. Serasa kontras antara jalan yang ia tapaki barusan dengan apa yang ia hadapi sekarang.

Kaki berbalut sendal jepit butut itu membawa langkahnya ke sepanjang trotoar tak berujung dengan manik yang siaga memindai setiap sudut yang ia lewati.

Kali saja, yang dicarinya singgah di sana.

"Ayah kemana lagi, sih?" gumamnya putus asa setelah menempuh 30 menit perjalanan namun tak kunjung bertemu.

Sepertiga malam kemarin, Ayah pulang.

Dengan tubuh sempoyongan serta bau alkohol yang menguar kuat membuat Hardi tentu saja marah. Karena Ayah kembali mengonsumsi barang tersebut setelah berhenti sekitar 8 tahun lamanya.

Tapi Ayah lebih murka. Dirinya tidak suka Hardi ikut campur dengan hidupnya. Padahal, Hardi sayang. Hardi peduli.

Dan malam panjang penuh percekcokan itu diakhiri dengan Ayah yang menggebuki dan mencaci maki Hardian lalu pergi yang hingga saat ini belum kembali.

Hardi hanya khawatir. Hardi takut kejadian 8 tahun yang lalu terulang kembali ;

Ayah pulang dengan luka sobek serta lebam di sekujur tubuh ditemani bau alkohol yang sangat Hardi benci.

Ayah digebuki orang-orang yang pernah direcoki hidupnya. Pernah dibunuh anggota keluarganya, dirampok, dicuri, dan sebagainya.

Hah... sudah. Hardi tidak mau kembali mengingat bagaimana rasanya palung hati semakin terperosok melihat Ayah yang hampir meninggalkannya untuk selamanya.

Mulut mungilnya menghembuskan napas panjang. Kakinya sudah lelah diajak berjalan tanpa tahu juntrungan.

Didudukkannya diri pada bangku batu yang tersedia di pinggir jalan. Mengusap dengkul kebiruan yang tertutupi celana bahan dengan netra menatap jalan aspal sepi yang sesekali dilewati.

Dari jalan raya hingga jalan komplek sudah ia telusuri, tetap tak bertemu jua.

Hardi pasrah. Beralih menangkup tangan, dirinya berdoa dalam syahdu.

Ayah harus balik, Tuhan. Ayah harus pulang. Hardi tahu Tuhan menyayangi anak sebatang kara ini, maka kabulkanlah doaku. Hanya ia yang kupunya selain teman perkumpulan. Jagalah ia dengan kasih sayangmu, senantiasakanlah ia selamat.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now