Jian - Kakak...

9.9K 2.1K 350
                                    

Gulungan awan di antara hamparan senja yang melanda menjadi peneman langkah pemuda tinggi menjulang berbalut jaket bomber yang sedaritadi terus menatap kedua ujung sepatunya.

Lubang kuping yang disumpal earphone juga membuatnya sesekali mengangguk mengikuti alunan irama.

Pemuda itu tengah menempuh jalan menuju rumahnya sehabis kerja kelompok di rumah teman yang letaknya hanya di sisi blok lain.

Tapi pantas tidak sih yang tadi itu disebut kerja kelompok? Karena sepertinya hanya dia dan sang sahabat yang mengerjakan, lima lainnya sibuk bermain game.

Tapi dirinya tidak mau menyangkal. Karena setaunya, yang namanya kerja kelompok itu seperempat yang mengerjakan, yang lainnya berkelompok, mengerjakan hal tidak penting di luar visi dan misi pada awal perundingan.

Ujung sepatu itu sedikit berdecit dengan aspal saat dirinya tiba-tiba memberhentikan langkah. Saking asyiknya, dia bahkan hampir melewatkan tujuan dari langkahnya tersebut.

Dirinya berbelok, melewati pagar sebatas dada yang sudah terbuka dan mulai menapaki pekarangan rumah.

Jemari lentiknya perlahan melepas sepatu dengan kepala yang terus mengangguk mengikuti irama. Hingga ia tak sadar, kalau banyak pasang sepatu di depan rumah itu.

"Nothin' feels better than this ~
Nothin' feels better ~
Nothin' feels bet– Eh?"

Tungkai yang sudah masuk beberapa langkah dari depan pintu spontan berhenti. Dirinya terkejut bukan main saat melihat sudah ada sekitar lima hingga enam perempuan yang menatapnya bingung.

"Siapa ya?"

Jian dengan bibir yang membentuk garis lurus itu masih stagnan di tempat. Bingung dengan situasi. Matanya menatapi satu persatu gadis yang ada di sana.

Semua pakaiannya terlihat mahal. Ponselnya juga berlambang apel digigit di belakangnya.

Ah, mereka pasti teman kakaknya.

Jantungnya sempat berhenti berdenyut sesaat, sebelum setelahnya memompa lima kali lebih kencang dari biasanya.

Dia baru sadar.

Retina itu dengan cekatan mencari figur lain yang nampaknya tidak hadir di ruang tamu itu. Ah, belum muncul maksudnya.

"Ini adiknya Clara bukan sih?"

"Loh, emang Clara punya adik?"

Keringat dingin sebesar biji jagung mulai menguap ke permukaan dahi. Lagu yang masih terlantun di kedua pendengaran pun sudah tak terdengar lagi saking lebih nyaring suara detak jantungnya.

Dia benar-benar kalut.

"B-bukan. Saya salah rumah kayaknya, permis–"

Perempuan dengan rambut kemerahan menahan lengannya. "Ih, kamu beneran adiknya Clara, kan?"

"Bukan–"

"Ih orang bener kok! Tadi aku ngeliat foto keluarga Clara."

"Fo–foto keluarga? D–dimana?"

"Iya. Tadi aku ke dapur, terus dengar ada suara benda jatuh dari kamar pojok, kayaknya sih gudang. Pas aku liat ternyata foto keluarga, ada kamu nya juga!"

Ah, kenapa bisa jatuh sih? Kenapa nggak ntar-ntaran aja jatuhnya? –racau Jian dalam hati.

"B-bukan. Saya buk–"

"Udah sini dulu."

Jian yang notabenenya laki-laki bertubuh kurus itu pun pada akhirnya hanya bisa pasrah saat lengannya ditarik oleh lima perempuan, memaksanya duduk di antara mereka. Mau melarikan diri juga sudah telat kayaknya. Karena teman kakaknya ini sudah melihat bukti konkret.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now