realized

6.4K 1.5K 194
                                    

"Ayah kecewa sama kamu."

Tak perlu nyaring, bisik tegas nan penuh akan retisalya menggulana pun bisa berbuah pada keheningan yang menusuk iga. Tegang, kecewa, sedih, takut, semuanya menyatu padu membuat semua presensi yang singgah pada ruang hanya bisa termangu.

"Ayah tahu kamu nakal, tapi Ayah mewajarkan karena sebagaimana remaja pada umumnya yang sedang berusaha mencari jati diri. Tapi sayangnya, kamu mengsalah arti." Sungguh sendu ucapnya, andai suara berbentuk nyata, bilur sudah menyerta lawan bicara. "Kamu terlena, sampai-sampai nggak sadar sudah membuat kami kecewa."

Si gadis menggeleng di antara jemari yang mengatup ranum. "Maaf, Yah... Clara benar-benar minta maaf...."

Sayangnya, Ayah hirau. Sudah terlampau kecewa, nampaknya.

"Nanti malam Ayah kemasi baju kamu. Terserah mau tinggal di mana, Ayah sudah nggak peduli."

"Ayah jangan gitu...," bujuk Bunda yang setia merangkul anak tirinya di atas bangsal.

"Apa? Kamu mau ngebela dia lagi? Selama ini saya sudah mau bertindak, tapi selalu tertahan oleh ucap wajar dari kamu!" Jari telunjuk mengacung tegak pada si objek pembicaraan. "Kamu terlalu baik untuk anak tak tahu untung seperti ini!"

Semua rasa punya kulminasi, contohnya kecewanya Ayah kali ini. Membuat Jian si bungsu tak andil perihal ini, hanya bisa menahan lengan terayun Ayah, menginterupsi.

"Ayah jangan main tangan sama Kak Clara!"

"Kamu juga mau bela perempuan ini? Kakak itu seharusnya memberi contoh yang baik, Jian!"

"Jian tahu, Ayah. Tapi mungkin memang kakak butuh pelarian waktu itu--waktu Ayah cerai dengan Bunda yang sebelumnya."

Barulah iris Ayah mau mensejajar sedu milik si putri. Memang benar, Clara enam tahun lalu amat diliputi kebingungan. Mengapa keluarganya yang tampak baik-baik saja bisa cerai-berai seperti ini? Mengapa Bunda bisa bermain di belakang Ayah yang padahal mereka nampak mesra saban hari?

Begitu tertumus pada jurang awang-awang yang tiada akhirnya, hingga mencoba meraih kebahagiaan lewat hal-hal menyimpang, lokawiruda.

Alasan yang logis. Tapi tetap saja tak bisa diterima Ayah yang sebegitu kecewanya. Pada akhirnya, semua gelap mata saat di puncaknya. Pun ia beranjak keluar bersama rahang yang mengeras setelah bersuara tegas ;

"Tetap saja dia salah!"

Benar. Memang benar. Clara pun tak mau menampiknya.

"Ayah cuma emosi, jangan diambil hati," lirih Bunda mengelus pipi basah putri. "Kamu gak boleh pergi, Ayah akan membaik Bunda janji."

"Jian, Bunda titip Kak Clara ya?"

"Iya, Bunda."

Sunyi pilu beralih peran seperginya Bunda. Hanya isak samar Clara yang tersadu walau nampak bersembunyi malu.

"Maaf...," lirih si bungsu.

"Buat apa?"

"Gara-gara Jian, kakak jadi ketahuan."

Dengus pias terdengar. "Lambat laun juga bakal ketahuan, kan? Lagian gue udah cape nyembunyiin semuanya di saat fisik gue sendiri bahkan sudah gak kuat menopang."

Binarnya redup mendapati raga sang kakak yang lesu, layu, berhias bercak ungu. Terkesan ringkih dengan lekuk tulang yang semakin tercetak jelas di kulit pucat itu.

Tok! Tok! Tok!

Belum sempat Jian menyambut, tiga insan sudah menyerobot masuk. Dengan rambut warna-warni dan pakaian yang amat nyentrik untuk seukuran menjenguk teman di rumah sakit.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now