wake up

7.1K 1.5K 475
                                    

Sinar baskara tersisa seujung kuku di tepi seakan memberi panggung pada si indurasmi kala jemari lentik merampungkan lipatan terakhir origami.

Akhirnya, radu setelah memakan waktu satu minggu.

Dibawanya bangau coklat itu pada toples kaca berisi serupa, membiarkan berjumpa pada kekawanannya. Lantas menutupnya beriringkan garis tipis yang ia lukis.

"Akhirnya selesai juga...."

Tangan lentik menangkup syahdu menyambut waktu yang ditunggu. Suasana hening sekitar pun seakan mendukung ke-khidmatan.

"Tuhan, tolong kabulkan pinta hambamu ini." Kelopaknya menutup ringan. "Berilah izin pada si netra manis agar dapat menyaksi bumi pujanya ini. Sungguh, semakin kalut kami hari demi hari."

Kata amin berkali-kali terucap dengan penuh harap. Kali saja, lebih cepat mujarab.

Hembus bayu malam yang megibarkan helaian seakan merayu Raanan tuk kembali pada pijakan, meninggalkan khayalan penuh angan. Lantas iris sepekat jelaga itu berpendar ke sekitar tuk mendapati taman rumah sakit yang penuh akan absensi.

Hanya ada sepasang suami istri yang berbincang di sudut taman. Terlihat gelabah dari raut dan gestur keduanya.

Yah, Raanan tahu rumah sakit hanya berputar pada duka yang kadang tiada ujungnya.

Saking terhenyaknya mengamati, Raanan sampai lupa tujuan diri. Hingga tak sadar jam tangan menunjukkan pukul tujuh malam, meleset dari niatan awal sampai setengah jam yang lalu saja.

Meraih toples kaca di atas kursi, pun ponsel yang dibiarkan tergeletak membalik di sana. Alangkah terkejut mata membola itu melihat banyaknya telepon masuk dari si bungsu, Jian yang sudah menelpon kembali.

"Halo?"

"ASTAGA AKHIRNYA DIANGKAT JUGA!"

Sontak menjauhkan ponsel dari telinga. "Ada apa sih?"

"Kenapa daritadi gak diangkat?"

"Mode silent, maaf."

"Karena Jian baik hati, maka maaf diterima!"

Raanan mengulas senyum membayang raut Jian di seberang sana. Pasti lucu sebagaimana adik bungsu.

"Kenapa telepon?"

"Astaga lupa! Kak Raanan di mana?"

"Taman."

"Cepet balik ke sini!"

"Emangnya kenapa--"

"Woy!"

Garis imajiner kontan menghias dahi mendengar suara asing nan kontras dari sebelumnya. Tercenung berusaha mengidentifikasi hingga lantunan kalimat sesudahnya seakan mengangkat papan terpaku di bahu.

"Buruan ke sini, moomin. Gak kangen sama gue?"

"Hardian?!"

Raanan sampai berdiri tegak.

"Sepuluh detik gak sampe sini, gue pingsan lagi bodo amat."

Baru Raanan mau protes tapi keburu ponsel kembali ke genggam sang empu.

"Halo kak?"

"Hardian siuman, Ji?"

"Uhum."

Hela napas lega mengudara bersama masygul yang menyiksa. Tubuhnya jatuh layu pada kursi seakan habis akan energi. Sungguh derita tak kasat mata yang mendera kekawanan bersama tiga ahad lamanya.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now