another rejection

7.4K 1.7K 204
                                    

Benderang terik mentari pada pertengahan hari memaksa tungkai menyeret diri ke tepi. Kelima jemari mengibas-ngibas berusaha mempersejuk diri.

Iris menelaah sekitaran sejenak setelahnya menghentakkan kaki pelan menghalau bosan, menciptakan irama acak yang kalau didengar-dengar enak juga.

"Macet kali ya? Atau lupa?" Gumamnya.

Meraih ponsel, ia mencari sebuah kontak yang masih berada di deretan teratas. Menampilkan sebuah pesan yang diterima sekitaran satu jam yang lalu alias belum ada kabar lebih lanjut.

Menekan ikon gagang telepon di pojok layar, ia berdecak saat layar menampilkan kata 'memanggil' bukan 'berdering'.

Jadi nggak, sih? Atau hanya wacana? Masa iya?

"Weh, itu si Jian, kan?"

"Wah, iya tuh. Samperin kuy!"

"Gaskeun! Gatel tangan daritadi pengen nonjok orang."

Yang disebut-sebut kontan menoleh, mendapati tiga pemuda yang masuk jajaran list 'orang yang sangat amat ia hindari selama hidupnya' tengah berjalan menghampiri. Diam-diam ia meringis.

Ini luka dia belum sembuh, loh? Mau ditambahin lagi ceritanya?

Niatnya sih melipir pergi, tapi apa daya tangan mereka lebih cekatan menahan tasnya, membuatnya mau tak mau hanya bisa pasrah dikerubungi begitu.

"Eits. Mau kemana lo?"

"Pulang, lah."

"Emangnya kuat jalan?"

Jian berpegangan erat pada pagar saat dirinya didorong kencang hingga menabrak pembatas di belakang. Disusul tahanan napas kala dadanya ditepuk kencang berkali-kali.

Nyeri. Seakan tertusuk duri.

"Dadanya sakit, nggak? Ntar bengek lagi kayak pas upacara."

"Kayak pas olahraga, bro. Bengek doi. Gue kira udah ajal dia," timpal satunya.

"Kemarin kita gak ketemu. Kangen gak lo sama gue?"

Tak meladeni, Jian hanya bergeming menunduk. Diam-diam menggigit bibir merasa relung dadanya perlahan sesak kekurangan oksigen karena dikerubungi seperti ini.

"Heh. Bagi duit dong, buat gue pacaran ntar malem."

"Itu bukan urusan aku," cicitnya nyaris tak terdengar.

Dagunya diangkat kencang, memaksanya bersitatap langsung pada bola mata berurat merah di hadapan.

Kalau Jian tidak salah, itu bola mata hasil mengonsumsi obat-obatan.

"Oh, jadi gitu? Pelit nih sekarang?"

"Hajar aja bro!"

"Hajar biar nggak ngelunjak!"

Jian membelalak lantas buru-buru menutup mata melihat ayunan tangan yang bersiap menghajarnya.

Oke. Siap-siap beli obat merah lagi, Jian. Yang kemarin sudah habis.

"Kalau mau pacaran tuh ya modal sendiri, dong. Masa hasil malak? Malu sama cewek lo."

Kelopak yang tertutup kembali membuka, lagi-lagi terbelalak disuguhkan figur yang ditunggunya sedaritadi sudah sampai. Lebih kagetnya lagi, kepalan tangan yang nyaris mendarat di wajahnya tertahan di udara, terinterupsi oleh figur tersebut. Saling berpandang sengit, Jian merasa atmosfer di sekitar mendadak mencekam.

Hingga teman sekelas Jian memutus kontak terlebih dahulu dan menghempaskan dagu yang digenggamnya kencang.

"Udah yang kedua kali. Inget, lo nggak bakal lolos lain kali," desisnya terbesit nada tak terima.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now