titik terendah kami

7.6K 1.7K 306
                                    

Derap dua pasang sepatu yang diadu pada lantai dingin terdengar nyaring memenuhi koridor rumah sakit. Tak lupa si salah satu dari dua empu melontar maaf atas ketidaksengajaan si pimpin di depan yang acap kali menabrak bahu pengunjung lain.

"Jov, kendaliin diri lo! Ini tempat umum!"

Anggi memekik tertahan sesudahnya menginterupsi lengan laki-laki di hadapan. Air wajah yang memberitahu jelas dan lugas bahwa laki-laki itu kalut bukan main. Napasnya memburu dengan dada bidang yang naik turun dengan tempo cepat.

"Kendaliin diri lo, please. Pengunjung di sini nggak hanya lo! Lo juga nggak mungkin jenguk Hardi dengan keadaan gini. Tadi lo sendiri yang bilangin temen lo supaya jangan panik."

Menangkap sorot khawatir Anggi membuat Jovian berdecak dan mendengus kencang.

Benar. Seharusnya ia tak boleh begini.

"Maaf. Gue cuma... takut."

"Nggak papa, wajar. Udah ademan, kan? Yuk kita cari ruang Hardi."

Jovian mengangguk, beralih menggenggam erat jemari Anggi dan kembali berjalan cepat menelusuri koridor. Iris tajamnya tak henti meniti nomor kamar yang dilewati, mencari pampangan 67.

60... 61... 62... 63....

Hingga langkah itu terhenti di perpotongan koridor yang seharusnya lanjutan dari nomor kamar tadi.

Suara isak sedu menggema di sepanjang jalur. Bergaung menusuk tepat kedua gendang telinga Jovian hingga dirasa waktu berhenti tuk sepersekon hidupnya.

Berusaha merangkai serat-serat mengabur dan kepingan familiar hingga menyatu padu menjadi gambaran nyata.

Teman Perkumpulan sudah tiba. Lebih dulu.

Dalam rengkuh adik yang bermata sembab, si pandai nan teguh sudah terduduk di lantai dengan rebas air mata dan racauan pilunya terkait presensi di dalam ruang hadapan.

"Kenapa harus Hardi? Kenapa harus Hardi?! Jawab saya Jian, Januar!"

Jian serta Januar yang tergugu memeluk lutut di hadapan hanya bungkam.

Oh, si laki-laki cassanova nan jahil itu mengabsensikan ciri diri untuk kali ini. Dirinya juga tersadu-sadu di tempat sesekali melirih Bunda.

Bugh!

"Semua salah gue! Semua salah kakak!"

Dan si tetua yang tengah memukuli tembok rumah sakit guna salur pitam. Buku-buku jemarinya sudah penuh luka dan cairan merah mengucur pelan di sela-selanya.

"Kak Mark, udah! Ini bukan salah kakak!" Bertemankan gumaman putus asa Ciko yang kesulitan menahan lengan si tetua agar tak melukai diri sendiri.

"Harusnya kita ikut campur! Harusnya kita lindungi Hardi! Bukan hanya menyemangati penuh simpati, tapi beraksi dengan empati!" Teriak si sulung setelah itu jatuh terduduk dan menunduk.

Tak ada yang menyadari kehadiran Jovian di sini. Semuanya kacau dan semrawut.

Termasuk Jovian yang mematung tercenung. Lembaran demi lembaran film mengulas ulang, seakan ada proyektor yang menayangkan kembali kilas kejadian bertahun-tahun lamanya.

Rumah sakit. Orang-orang menangis. Pekikan kalut.

Persis duabelas tahun lalu....

Namun sebelum dilema akan masa lampaunya, untung pekikan terkejut dari Anggi menghalau balik atensi yang sempat terpecah belah dan berhamburan kemana-mana.

"Astagfirullah!" Begitu pekikannya saat mengintip isi lewat kaca pintu.

"Kak Jov...," panggil bungsu sejurus Jovian merasakan terjangan rengkuh dari si bahu rapuh.

youth | nct dream ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang