beautiful pass

7.7K 1.6K 652
                                    

Memasuki bulan asuji, mega mulai menangisi bumi sebagaimana kerapnya rawi mengabsensikan diri.

Menjatuhkan derai seringan anai membasahi permukaan gundukan merah basah yang sedaritadi berkeliling elegi.

Warna hitam mendominasi sekitar diiringi isak tangis nan amat menyayat hati.

Karena bukan jumantara saja yang tengah ditinggal rawi,

Kawan-kawan Perkumpulan Akhir Pekan juga turut didadahi si mentari.

Mentari berperangai ceria dengan labium termurah hati seumur mereka temui nan kerap melukis garis tulus, jua ranum yang tiada hentinya melantunkan syukur walau hidup tak pernah berpihak padanya barang sekejap pun.

Untuk kali ini saja, kekawanan iri pada jumantara.

Jumantara hanya ditinggal sebentar, berhitung jam pun mentari sudah hadir lagi.

Sedangkan mereka, sampai kapanpun nampaknya si mentari sudah enggan singgah lagi di sisi.

Meninggalkan kekawanan bersama redup ketiba-tibaan.

"Di, ayo bangun dong. Nggak lucu bercandaan lo, sumpah." Januar berkacak pinggang, wajahnya nampak garang. "Mana enak sih tiduran di dalem tanah, sumpek tau nggak?"

"BANGUN LO BAJINGAN, BANGUN!"

Pintaan frustasi si cassanova menggema di antara hamparan tanah lapang hijau. Beradu dengan derasnya hujan yang kian mengganas seakan turut berduka atas kehilangan mereka.

"Mana yang katanya mau jadi pemain barongsai? Mana yang katanya mau sama-sama sampai hari tua? Mana yang katanya mau disayang bunda gue tiap hari? Mana yang katanya mau dengerin radio sesi malam sampai puluhan tahun lagi? Mana Hardian mana?!"

Kekawanan semakin menderai tak karuan mengingat kaul yang pernah si mentari ucap pada malam ulang tahunnya beberapa bulan lalu. Dengan iris yang menggebu-gebu ia berjanji demikian, tapi apa?

Lagi-lagi semesta tak berpihak kepadanya.

Lagi-lagi keinginannya dipatahkan begitu saja.

"Jan udah, Jan." Jovian berusaha menahan lengan Januar yang terus menjambaki rambutnya sendiri walau dirinya pun hendak melakukan aksi serupa.

Frustasi dia, mereka.

Kenapa begitu tiba-tiba?

Kemarin lusa si manis masih bisa meledek Raanan yang didekati Siti Jubaedah, masih bisa menimpuk Januar dengan apel merah pemberian Mama Ciko, masih bisa beribadah walau hanya dari tempat tidur.

Kenapa semalam sudah pamit saja?

Tak ada peluk perpisahan atau lambaian tanda akhir jumpa. Tak ada. Sama sekali tak ada. Dan hal itu justru yang membuat kekawanan frustasi akan ketiba-tibaan si mentari yang hilang menyinari.

Sekelebat memori singgah tuk mengenang sejenak. Pada malam pekan di warkop dengan suara genjrengan gitar yang berdendang. Itu awal sekali, awal pertemuan kekawanan dimana Raanan belum bergabung. Bahkan nama Januar pun begitu asing waktu itu.

"Jovian, Jovian kalau gede mau jadi apa?"

Jovian mendengus tak menanggapi memilih menyeruput jus jambunya membuat lawan bicara jengkel bukan main.

"Dijawab dong, setan. Capek-capek gue genjrengin gitar. Buang-buang ludah barusan nyanyi."

"Nggak tau, Di. Jawabannya nggak tau. Jadi apaan aja gue mah sesuai alur hidup," jawab Jovian tak sepenuhnya asal. Karena pasalnya, tujuh belas tahun memijak bumi tak pernah terfikir ia akan masa depannya.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now