the beginning of Mark...

6.4K 1.6K 48
                                    

"Bun, Bun. Ayo tahan, Bun!"

"Bunda nggak boleh tidur, oke? Ayo Mark ajak ngomong terus, ya?"

Lengan bebas itu mengusap peluh yang sedaritadi terus bercucuran di dahi. Manik nya bergerak tak nentu, gugup dan panik.

"Bunda tadi pagi makan apa?"

"Susu buatan Mark Bunda minum, nggak?"

"Mark udah sempetin bikin susu buat Bunda, loh. Masa nggak diminum?"

Bukan sejuntai kata, balasannya hanya seulas senyum tipis nan teduh dan syahdu. Tak luput jua sesekali meringis menahan sakit di sekujur tubuh.

"Sebentar lagi sampai, oke? Jangan bengong dong Bunda, duh!"

Mark mengguncang jemari Bunda yang berada di genggamannya. Hendak memekik saja melihat wanita paruh baya yang terbaring lemah dihadapannya malah menatap kosong kaca ambulans di belakang punggung Mark.

"Bunda sayang Nancy, kan? Nggak mau liat Nancy lulus SD? Lusa Nancy lulus SD, bun. Bunda harus liat, anak perempuannya udah besar!" Menoleh ke samping, perempuan yang dimaksud sedaritadi hanya bungkam menyaksikan dengan derai air mata. "Nan, ayo ajak ngomong Bunda nya, dong? Bantuin kakak!"

Sang lawan bicara menggeleng lemah. Malah menggigit telapak tangannya kencang agar suara isakannya sedikit meredam.

Tak mendapat bantuan membuat laki-laki itu kembali menatap sang Bunda yang masih balik menatapnya lembut.

"Mark...," lirihnya. Begitu pilu dan... hampa.

"Iya kenapa? Mark di sini, Bun. Mark di sini."

"Maafin Bunda, ya?"

Mengernyit, spontan Mark menggeleng kencang. "Nggak. Nggak akan Mark maafin kalau Bunda pergi. Bunda harus di sini nemenin aku sama Nancy. Cukup Ayah aja. Bunda jangan."

"Titip Nancy, ya?"

"Bunda!"

"Bahagiain adik kamu. Harus menjadi kakak yang hebat, oke?" Bunda meringis lirih. "Maaf kamu sudah menjadi tulang punggung keluarga. Berat ya nak?"

"Nggak. Nggak berat sama sekali. Mark malah senang. Makanya Bunda jangan pergi, ya?"

Bibir itu mengulum senyum terpaut lebar. "Maafin Bunda, ya?"

Kedua nayanika selaras beradu tatap dalam hening yang begitu menyiksa. Berkabut kesedihan dan duka yang menyeruak tiba-tiba.

"Bun... Hiks."

Hancur sudah.

Pertahanan yang ia bangun sedaritadi pun runtuh. Bibir mungil itu akhirnya mengeluarkan isak tangis diiringi derai air mata yang rebas melewati pipi.

"Bunda jangan pergi, ya? Please...," lirihnya putus asa.

Jemari berhiaskan guratan pertanda usia senja itu mengusap lembut pipi anak laki-lakinya. Lembut dan teliti, seakan tak mau ada yang terlewati. Mungkin untuk yang terakhir kali?

"Maafin Bunda, ya?" tanyanya sekali lagi.

Mark menunduk begitu dalam, menggigit bibir sekuat tenaga. Sedangkan Nancy sudah jatuh bersimpuh memeluk lutut ibundanya.

"Mark...," lirih bunda lemah. Jauh lebih lemah dibanding terakhir kali.

Hening sempat mengambil alih keadaan untuk beberapa tarikan napas, sebelum kepala bersurai hitam legam itu mengangguk samar.

"Iya, Mark maafin."

Bunda tersenyum tipis. Setetes air mata lolos pada sudut mata bunda. Kedua jemari yang semula menggenggam erat kedua anaknya perlahan mengendur. Hingga katup itu menutup teduh dan damai, kepala terkulai lemas jatuh ke samping.

youth | nct dream ✔Where stories live. Discover now