11. Mad

4.2K 296 44
                                    

Feby sudah ditangani, keadaannya sudah membaik dan sudah dipindahkan ke kamar rawat biasa? Perempuan itu mengerjap beberapa kali saat Rega datang lagi. Feby sangat beruntung berkat Rega keadaannya sudah berangsur membaik. Rega tersenyum ramah saat melihat pasiennya memandangnya dengan mata sayu.

"Udah enakan, kan?" tanya Rega. Dia menarik kursi di dekat ranjang tempat Feby berbaring untuk duduk.

Feby mengangguk pelan. Tubuhnya masih sangat lemas. "Iya, lumayan."

"Perutnya masih sakit?"

"Dikit."

"Kamu kena gastritis."

"Apa itu?"

"Peradangan dinding lambung. Istilahnya maag kronis gitu," jawab Rega. "Makanya tadi ulu hati kamu rasanya nyeri. Kamu udah lama kena maag?"

Feby mengangguk. "Sekitar tiga tahun lalu, tapi aku kira udah sembuh soalnya udah nggak pernah kambuh. Jadi sebulan ini aku diet."

"Lain kali kalau mau diet sebaiknya konsultasi dulu ke dokter karena kamu punya maag. Jangan menyepelekan maag."

"Tapi aku nggak apa-apa, kan?"

Rega tersenyum seraya membenahi infus Feby. "Kamu akan baik-baik saja. Saya udah melakukan tindakan maksimal untuk kamu. Semoga lekas sehat."

"Makasih ya, Rega. Eh, maksudnya Dokter Rega," timpal Feby menyunggingkan senyum tipis di raut wajahnya yang masih pucat.

"Sama-sama. Kamu bisa hubungi wali kamu sekarang, tapi kamu harus bedrest selama beberapa hari di rumah sakit ini sampai keadaan kamu benar-benar pulih."

"Hmm ... kakak aku sama keluarganya lagi keluar kota. Besok baru kembali. Kamu mau temenin aku dulu malam ini?"

"Tapi saya ...."

Tiba-tiba Feby menggenggam pergelangan tangan Rega, menahannya agar tidak pergi. Tatapan memohon tergambar jelas dari manik matanya. "Please. Sebenarnya aku agak trauma sama rumah semenjak Mamaku meninggal ketika operasi jantung."

"Tapi .... "

"Tolong untuk malam ini aja. Besok kakakku udah balik ke sini."

Rega terdiam sejenak. Pilihan yang sulit lagi-lagi harus dihadapinya, antara istrinya dan pasiennya. Rega menghela napas panjang lagi. Sedari tadi dia sering menghela napas. Kenapa pilihan ini begitu sulit untuknya? Mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu saat ini? Pasien? Atau istri?

"Rega. Eh, maksdunya dokter Rega, mau kan menemani aku di sini?" panggil Feby.

"Eh, i-iya," jawab Rega terbata, menyetujui permintaan Feby meski pikirannya tak bisa enyah dari sosok Rara. Pasti Rara sedang menunggunya sekarang. Ini sudah lewat dua jam dari waktu yang dijanjikan.

Pelan Rega melepaskan kaitan tangan Feby di pergelangan tangannya. Lalu dia merogoh ponsel di saku celananya, berniat menghubungi Rara. Sial, ponselnya kehabisan baterai. Rasanya Rega ingin menghela napas lagi.

"Makasih banyak, ya. Aku berhutang budi banyak sama kamu,"

"Jangan merasa berhutang budi. Ini sudah tugas saya sebagai seorang dokter," jawab Rega mencoba profesional.

Keduanya sejenak terdiam. Rega bingung mau membahas apa lagi dengan perempuan yang dulu pernah singgah di hatinya ini. Mau membahas masa lalu, tapi masa lalunya dengan Feby tak begitu baik untuk diingat. Mau membahas masa sekarang, Rega tidak tahu apa yang harus dibahas.

"Rega?"

"Iya, kenapa?"

"Aku boleh jujur sama kamu?"

Erlebnisse (Re-Publish) ☑Where stories live. Discover now